Lebu Raya Ngotot Bangun Hotel di Pantai Pede

Floresa.co – Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT), Frans Lebu Raya tampak tak menyambut baik penolakan masyarakat di Kabupaten Manggarai Barat (Mabar) terhadap rencana pembangunan hotel di Pantai Pede.

Lebu Raya menegaskan, pembangunan hotel itu, dalam kerja sama dengan PT Sarana Investama Manggabar (SIM) akan tetap dilanjutkan.

“Kita memahami penolakan sebagian warga di Manggarai Barat, namun kita tetap melanjutkan ini karena dampak dari pembangunan ini lebih banyak akan dinikmati oleh pemerintah dan warga kabupaten Manggarai Barat,” katanya dalam Rapat Kerja (Raker) bersama DPRD NTT di Kupang, Selasa, (21/4/2015).

Ia menjelaskan, lokasi tempat untuk pembangunan hotel itu merupakan aset provinsi.

Tanah itu, demikian Lebu Raya, diperoleh dari cara hibah dari Departemen Pariwisata Pos dan Telekomunikasi Direktorat Jenderal Pariwisata wilayah Provinsi NTT tahun 1999, sesuai sertifikat Hak Pakai Nomor 10 Tahun 1989 seluas 157.286 meter persegi dan sertifikat nomor 11 Tahun 1989 seluas 14.384 meter persegi. Dengan demikian total lahan milik pemerintah provinsi NTT di Pantai Pede itu sebesar 31.671 meter persegi atau 4,1671 ha.

Ia  lebih lanjut menjelaskan, pada tahun 2012 atas kedua sertifikat tersebut telah diproses balik nama dengan nama pemegang hak Pemerintah Provins NTT dengan sertifikat Nomor Hak Pakai Nomor 3 dan 4 tahun 2012. Kemudian pemerintah provinsi NTT telah mengusulkan kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI untuk proses HPL.

Pada tahun 2014 lanjutnya, atas dua bidang tanah tersebut dikerjasamakan dengan PT SIM untuk pembangunan hotel, perdagangan dan hiburan masyarakat dengan pola Bangun Guna Serah (BGS) selama 25 tahun sesuai perjanjian kerjasama Nomor HK.530 tahun 2014 dan nomor 03/SIM/Dirut/V tanggal 23 Mei 2014.

Ia mengklaim, kerja sama dengan PT SIM akan akan memberi manfaat, terkait tersedianya hotel yang representatif dengan kawasan yang tertata.

Dari aspek pendapatan, keberadaan hotel yang representatif itu, akan menghidupkan sektor riil dalam hal ini perikanan, pertanian, peternakan, perindustrian dan perdagangan sektor jasa. Dari aspek ekonomi, aka ada penerimaan pajak daerah berupa pajak hotel dan restoran, pajak penerangan jalan, pajak hiburan dan retribusi parkir.

Selain itu kata Lebu Raya, bagi masyarakat, akan ada penyerapan tenaga kerja lokal. Dengan demikian, kata dia, ada nilai tambah ekonomi untuk masyarakat Labuan Bajo dan sekitarnya, sementara pemerintah provinsi hanya akan mendapatkan kontribusi dari biaya pemanfaatan lahan saja.

Protes Warga Tak Didengar

Pilihan sikap Lebu Raya memang sama sekali tak mengindahkan keberatan warga. Padahal misalnya, Komunitas Bolo Lobo, sebuah kelompok anak muda di kota Labuan Bajo, menyampaikan sejumlah argumentasi penolakan terhadap rencana pembangunan hotel itu.

Edward Angimoy, anggota Komunitas Bolo Lobo pernah mengatakan, pola pikir Pemerintah Provinsi NTT menunjukkan cara berpikir aparat negara yang sesat.

“Pembangunan hanya dilihat sebagai upaya mendatangkan uang dan keuntungan dalam rumusan PAD. Hanya berhenti di situ,” katanya.

Ia menjelaskan, pihak Pemprov terbukti masih nyaman dengan pola pikir melihat kesejahteran rakyat hanya diukur dari seberapa banyak uang atau pendapatan yang mampu mereka hasilkan.

“Pemerintah lupa, bahkan abai bahwa sebenarnya kesejahteraan rakyat juga menyangkut seberapa besar terpenuhinya kebutuhan terhadap ketersediaan ruang publik terbuka, kebebasan berekspresi dan memperjuangkan aspirasi, akses yang luas terhadap sumber daya milik bersama dan lain-lain”, katanya. (Ari D/ARL/Floresa)

spot_img

Artikel Terkini