“Kartini-Kartini Flobamora” di Tengah Darurat Perdagangan Manusia

Floresa.co – Apa kabar “Kartini-Kartini” NTT? Tentu setiap kita memiliki beragam jawaban terhadap pertanyaan itu, tergantung dari perspektif yang diambil dan pengalaman pernah yang dirasakan.

Kalau mau jujur, jawaban yang pas untuk pertanyaan itu, akan menghasilkan derai air mata, simbol dimana kata-kata tidak mampu lagi mewakili dan mengungkapkan kenyataan pilu yang dihadapi kaum perempuan NTT.

Ini tentu tidak berlebihan, jika kita berkaca pada pada persoalan perdagangan manusia saja, di mana korbannya mayoritas perempuan-perempuan NTT.

Mereka masih jauh dari dunia “habis gelap terbitlah terang” yang pernah diperjuangkan Raden Ajeng Kartini, jauh sebelum Indonesia merdeka.

Sudah banyak bukti soal ini. Sebut Nirmala Bonat yang mengalami siksaan luar biasa oleh majikannya di Malaysia, Wilfrida Soik yang nyaris dihukum mati di Malaysia, atau penyekapan sejumlah TKI asal NTT di Medan yang menyebabkan dua orang meninggal dunia. Demikian pula penyekapan dan tindakan kekerasan terhadap TKI/TKW asal NTT di Pulau Batam, Kepulauan Riau, serta banyak lagi kasus serupa.

Data teranyar dari International for Migration (IOM) Indonesia menunjukkan, NTT adalah provinsi dengan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) nomor satu di Indonesia.

Menurut Nurul Qoiriah, National Project Coordinator IOM Indonesia, sedikitnya 7.193 orang dengan 82 persen perempuan dan 18 persen laki-laki telah teridentifikasi sebagai korban TPPO.

Data-data itu, tentu tidak lahir dari ruang kosong, tetapi dari pengalaman riil selama ini. Namun, memang, berhadapan dengan data demikian, kerap juga ada penolakan, bahwa itu tidak benar, bahwa persoalan yang mendera “Kartini-Kartini NTT” tak sedarurat itu.

Hal itu, misalnya dapat dibaca dari Pernyataan Sekretaris Daerah NTT Frans Salem. Sebagamana dilansir Tempo, Senin (16/2/2015), kata Salem, “Penilaian orang soal NTT nomor satu perdagangan orang dilihat dari aspek mana?”

Menurutnya, pemerintah NTT telah membentuk Satgas Trafficking yang siap menggagalkan pengiriman tenaga kerja Indonesia ilegal ke luar negeri. “Belum lama ini, Satuan Polisi Pamong Praja NTT menangkap 35 calon TKI ilegal ke luar negeri,” kata Frans.

Pernyataan Frans ini tentu melukai para korban perdagangan manusia dan semua pihak yang memperjuangkan nasib mereka. Apalagi kapasitas Frans sebagai pemerintah yang seharusnya menjadi pengayom masyarakat, bukan pecundang yang membela diri ketika kinerja institusinya disorot publik.

Namun, kehadiran Satgas Trafficking, sebagaimana dikatakan Frans, patut diapresiasi dan diharapkan terus dikawal publik sehingga tidak hanya bekerja ketika kasus-kasus perdagangan manusia muncul di ruang publik.

Dengan kata lain, Satgas ini diharapkan tidak hanya menjadi instrumen pencitraan bagi pemerintah dan para penegak hukum di NTT.

Sebab, kita patut was-was dan berhak ragu-ragu dengan komitmen pemerintah dan para penegak hukum, jika menengok kembali kasus Rudi Soik, seorang polisi yang bertugas di Satgas Trafficking Polda NTT.

Rudi Soik ingin membongkar keterlibatan seorang petinggi di Polda NTT, namun mirisnya, justru dia sendiri yang digiring ke meja hijau.

Deretan fakta di atas menunjukkan jalan terjal yang harus dilalui dalam perjuangan pemberantasan mafia perdagangan manusia di NTT.

Namun, bagi kita, jalan terjal itu bukan tidak mungkin dilewati jika semua pihak, terutama pemerintah dan penegak hukum memiliki komitmen dan berani menegakan keadilan demi perempuan-perempuan NTT.

Masih Ada Harapan

Dalam kasus perdagangan manusia, tentu tampak jelas, bahwa “Kartini-Kartini” NTT belum beranjak dari kegelapan.

Namun, kita juga harus jujur dan patut berbangga dengan prestasi sejumlah putri-putri Flobamora di level nasional dan internasional.

Sebut saja, Asrida Elisabeth, yang pada Desember tahun lalu muncul dalam dunia perfilman nasional sebagai sutradara film “Tanah Mama.” Dalam filmnya ini, putri kelahiran Manggarai, Flores ini, berupaya mengangkat ke publik perjuangan ibu-ibu di Papua dalam menghadapi kerumitan Hidup.

Atau kisah Alfonsa Horeng, salah satu contoh perempuan Flores yang mampu menerobos kungkungan dominasi laki-laki yang begitu kental dalam budaya kebanyakan suku di Flores.

Perempuan kelahiran Nita, Kabupaten Sikka, 1 Agustus 1974 ini, sudah menjelajah 33 negara di berbagai benua, kecuali Afrika, untuk memperkenalkan tenun Flores kepada dunia.

Baru-baru ini, Mentari Putri, wakil dari NTT dalam kontes Miss Indonesia 2015 berhasil masuk posisi tujuh besar.

Belum lagi beberapa tokoh senior perempuan NTT yang berkiprah di level nasional semisal Ibu Franssiska Ery Seda, Dosen Sosiologi Univeristas Indonesia dan Ibu Hermien Y. Kleden, Pemimpin Redaksi Majalah Tempo yang berbahasa Inggris serta anggota Badan Eksekutif Grup Tempo Media.

Figur-figur ini menjadi inspirasi yang bisa memberi harapan bagi bangkitnya Kartini-Kartini NTT. (Armand Suparman/ARS/Floresa)

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.