Seminari Tinggi Ritapiret Gelar Seminar Neoliberalisme Versus Pembangunan Kristiani

DSC00902 Floresa.co-Seminari Tinggi St. Petrus Ritapiret menggelar seminar bertajuk “Melacak Daya Jalar Neoliberalisme Global Versus Visi Pembangunan Kristiani”, Sabtu, (11/4/2015).

Seminar selama setengah hari ini menghadirkan pembicara tunggal, Beny Denar, mahasiswa pascasarjana STFK Ledalero. Menurutnya,  neoliberalisme penting untuk dicermati karena ideologi ini  telah menguasasi pilihan politik ekonomi dunia saat ini.

Menurut Beny, neoliberalisme yang menopang pembangunan global memang telah berhasil menjual  mimpi-mimpi tentang kemakmuran, namun gagal mengidentifikasikan secara konkret impian dasarnya itu berhadapan dengan kerakusan yang menjadi “cacat bawaannya.”

“Di sinilah letak kontroversi atau ambiguitas pembangunan itu. Pembangunan menjadi sesuatu yang dikehendaki sekaligus ditentang, dirangkul sekaligus diwaspadai, dijalankan sekaligus dilawan,” terangnya.

Pembicara yang juga pernah menjalankan Tahun Orientasi Pastoral (TOP) di Seminari Menengah Yohanes Paulus II Labuan Bajo ini menjelaskan neoliberalisme dimengerti sebagai paham dan proyek besar untuk mengatur manusia dan tata masyarakat yang berisi dua lapis agenda.

Pertama, neoliberalisme adalah paham dan agenda pengaturan manusia dan masyarakat yang didasarkan pada prioritas dimensi “manusia ekonomi” (homo oeconomicus) atas dimensi-dimensi lain hidup manusia dan masyarakat (manusia sebagai makhluk kultural, spiritual, politis, komuniter, dan sebagainya).

Kedua, dalam kaitan dengan lapis agenda pertama, neoliberalisme juga dipahami sebagai dominasi sektor ekonomi finansial (financial economy) atas sektor ekonomi riil (real economy) dalam tata ekonomi-politik suatu masyarakat.

Selanjutnya, Benny menyatakan kondisi neoliberal biasanya ditandai oleh dua ciri pokok. Pertama, semakin banyak bidang-bidang kehidupan pribadi dan masyarakat yang mengalami proses komodifikasi dan komersialisasi.

Kedua, proses ekonomi ditandai oleh ketercerabutan (disembed-dedness) aktivitas ekonomi dari konsern ekonomi ‘orang-orang biasa’ (seperti petani, buruh, nelayan, dan sebagainya).

Adapun tesis-tesis mendasar kapitalisme adalah; Pertama, privatisasi aset (private property). Aset produktif dikuasai sepenuhnya atau sebagian besar oleh perorangan swasta. Kedua, terdapat jaminan kebebasan untuk menggunakan kekayaan perorangan untuk kegiatan usaha atau investasi dan kebebasan memilih pekerjaan (Freedom of enterprise and choice).

Ketiga, motif orang perorangan dalam kaitan dengan kegiatan ekonomi bersifat self-interest. Keempat, oleh karena motif perorangan yang bersifat self interest diakui, maka tidak terelakkan terjadinya persaingan bersifat terbuka yang mengendalikan motif kepentingan antarpribadi itu (open competition).

Kelima, untuk menjamin persaingan bebas, semua barang yang dibutuhkan tersedia dengan bebas, informasi bersifat terbuka untuk umum, dan harga ditentukan oleh mekanisme pasar (market and prices), yakni dari keseimbangan antara permintaan dan penawaran (equilibrium by demand-supply interaction).

Keenam, sebagai konsekuensi dari adanya totalitas pasar, intervensi pemerintah sedapat mungkin ditiadakan. Lalu lintas ekonomi sepenuhnya digerakkan oleh para pelaku pasar (invisible hand), yaitu oleh motif setiap orang dalam memenuhi kepentingan mereka masing-masing (limited role of government).

Menurut Benny Denar, daya jalar kapitalisme-neoliberal memiliki bias-bias destruktif yang sangat akut. Pertama, paham ini cendrung menginstrumentalisasi manusia. Manusia dihargai sejauh dia produktif secara ekonomis. Oleh karena itu, paham ini cenderung menolak kekhasan manusia berdasarkan kelompok sosial atau rasnya.

Kedua, paham liberalisme juga membuat ambruk sistem politik sebuah negara. Sebab paham ini meyakini kesamaan antara manusia sebagai homo politicus dan manusia sebagai homo economicus. Keyakinan inilah yang merusak dunia politik, karena kebijakan politik diambil alih oleh para pemodal (the invisible hand).

Ketiga, paham liberalisme-kapitalisme sangat kuat memarginalisasi kaum miskin. Sebab sistem liberalisme cenderung berorientasi pada penumpukan kekayaan pada para pemodal besar dan sangat kuat menciptakan banyak orang miskin baru, termasuk mereka yang kalah dalam persaingan.

Keempat, arus neoliberalisme-kapitalisme global cukup kuat merusakkan lingkungan hidup. Pemutlakkan terhadap keuntungan dan akumulasi modal memang menimbulkan kemakmuran, namun kemakmuran itu banyak dicapai dengan merusakan lingkungan hidup.

Kelima, masalah yang paling rumit adalah semakin masifnya penyebarluasan model ekonomi dan pola/gaya hidup negara-negara kaya ke seluruh dunia, termasuk ke negara-negara miskin di dunia ketiga. Fenomen ini menimbulkan masalah yang amat krusial sebab penyebarluasan model ekonomi dan gaya hidup dari negara-negara kaya itu hampir pasti akan menyebabkan ambruknya tatanan bumi secara ekologis.

Paradigma Pembangunan Kristiani

Berhadapan dengan bias-bias destruktif itu, pembicara memaparkan konsistensinya menolak kerangka teoritis dan paradigma dominan dalam studi tentang pembangunan, kekuasaan dan kemiskinan, yang menempatkan sistem kapitalisme neoliberal sebagai senjata utama yang dipakai kekuasaan untuk melaksanakan pembangunan dengan dalil untuk mengurangi kemiskinan.

Dalam kenyataannya, paradigma kapitalistik neoliberal dalam tata ekonomi politik pembangunan hanya mengukuhkan hegemoni peran pemodal dan semakin bebasnya mekanisme pasar serta terminimalisirnya peran negara. Akibatnya ketidakadilan sosial semakin meruncing, kerusakkan lingkungan semakin masif, dan membuat budaya lokal semakin terdegradasi.

Sebagai solusi pemecahan kebuntuan sistem neoliberalis, pembicara yang adalah putra kelahiran Manggarai Barat ini menunjukkan sebuah model pembangunan alternatif yang pada intinya ingin  menempatkan penderitaan sebagai dalil utama pembangunan.

Di sini pembangunan dilihat sebagai jalan pembebasan manusia dari penderitaan. Dengan pendasaran seperti ini, semua kebijakan, konsep, dan strategi pembangunan akan dinilai secara etis apakah dia sanggup meniadakan atau membebaskan manusia dari penderitaan atau tidak. Dia menghendaki agar segala kebijakan dan upaya pengembangan masyarakat semestinya diarahkan untuk mengatasi, atau paling tidak sedapat mungkin mengurangi penderitaan manusia dalam semua bentuk dan dimensinya.

Ada beberapa ciri khas dan orientasi praktis dari pembangunan yang menempatkan penderitaan sebagai dalil utama pembangunan ini. Pertama, menempatkan manusia yang konkret sebagai pusat. Pembangunan mesti menyentuh tiga elemen utama, yaitu kelangsungan hidup (life sustenance), kehormatan diri (self-esteem), dan kebebasan (freedom).

Kedua,mendahulukan orang yang menderita. Di sini pembangunan dilihat sebagai jalan solidaritas.Ketiga, menekankan pentingnya demokrasi dan partisipasi. Maka pembangunan harus merupakan inisiatif dari bawah. Artinya menempatkan rakyat sebagai subjek pembangunan.

Keempat, pengejaran tujuan pembangunan tidak menyebabkan penderitaan lain dalam pentuk apa pun. Perjuangan melawan penderitaan merupakan proses terus menerus yang tidak pernah  kunjung habis.

Menurut Benny penempatan penderitaan sebagai dalil utama pembangunan memiliki kesamaan orientasi dengan visi Kristiani dalam pengembangan masyarakat. Sebab visi kristiani memiliki dua orientasi paling penting. Pertama, berpihak kepada orang miskin dan menderita. Gereja menjadi sahabat bagi semua terutama bagi kaum miskin. Tujuannya, agar orang miskin diberdayakan dan berpartisipasi aktif dalam hidup bermasyarakat. Namun pilihan mengutamakan orang miskin tidak sama dengan mengabaikan orang kaya.

Kedua, mengusahakan pembangunan berkelanjutan. Usaha untuk memenuhi kebutuhan sekarang tidak boleh mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan. Pembangunan berkelanjutan mengharuskan terjadinya sinkronisasi, pengintegrasian dan memberi perhatian serta bobot yang sama bagi tiga aspek pembangunan, yaitu aspek ekonomi, aspek sosial budaya dan aspek lingkungan hidup.

Dua model pembangunan kristiani tersebut salah satunya bisa dilaksanakan melalui kerangka metodologis lingkaran pastoral. Lingkaran pastoral terdiri dari: pengenalan masalah/konteks, analisis sosial, refleksi biblis-teologis, dan tindakan praktis.

Di penghujung seminar yang menyita banyak perhatian peserta ini, pembicara menyimpulkan bahwa konsep pembangunan yang didasarkan pada penderitaan sesuai dengan opsi dasar pengembangan masyarakat menurut Gereja. Maka melalui seminar setengah hari ini para peserta seminar diingatkan untuk senantiasa menjadi agen pengembangan masyarakat yang mengutamakan semakin kuatnya perhatian kepada orang miskin, sekaligus menjadi agen model pembangunan berkelanjutan. (Kontributor: Marto Rian Lesit)

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.