Mengembangkan Pariwisata Berkelanjutan

Oleh: MARSELINUS NIRWAN LURU

unnamed
Irwan Luru

Lingkungan adalah roh pariwisata. Kesemerawutan pengelolaan akan merusak potensi pariwisata. Aktivitas masyarakat dan stakeholder lainnya seperti pengusaha yang melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan ditambah lemahnya kepemimpinan, perlahan tapi pasti menciptakan masa depan suram bagi dunia pariwisata.

Tidak sedikit daerah di negeri ini yang menjadi destinasi pariwisata berkat keindahan lingkungannya. Misalnya, Labuan Bajo yang memiliki keindahan pantai, padang sabana dan komodonya, Lombok yang erat dengan alam laut nan eksotik dan lain sebagainya. Magnet wisata tersebut pun menggaet banyak wisatawan mancanegara.

Badan Pusat Statistik (BPS) merilis pertumbuhan sektor wisata pada Januari-September 2014, dimana secara akumulatif, wisatawan mancanegara (wisman) mencapai 6.946.849 orang, tumbuh 8,31% dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang hanya 6.414.149 orang.

Angka tersebut melampaui target yang ditetapkan sebanyak 7,93 persen. Pintu masuk utama yang mengalami pertumbuhan tinggi adalah Lombok, dengan jumlah 70,59 persen, Minangkabau 24,58 persen, Ngurah Rai 15,25 persen, dan Batam 4,50 persen (Indonesia’s Official Tourism Website).

Secara keseluruhan, destinasi wisata yang dikunjungi merupakan daerah yang didominasi oleh wisata bahari dan alam.

Sayangnya, minat wisatawan yang demikian tinggi berkunjung ke tanah air tidak sejalan dengan peningkatan kualitas dan aksi lingkungan untuk pariwisata berkelanjutan yang menekankan kesadaran tentang tanggung jawab terhadap lingkungan.

Pada prinsipnya, strategi pembangunan pariwisata berkelanjutan harus menempatkan pariwisata sebagai green industry (industri yang ramah lingkungan), yang menjadi tanggung jawab pemerintah, industri pariwisata, masyarakat dan wisatawan (Agenda 21 sektoral, 2000).

Namun, berbagai fakta lapangan menunjukan beragam kegiatan yang kontra dengan prinsip keberlanjutan tersebut.

Pembangunan fasilitas penginapan yang seyogianya mendukung kegiatan pariwisata justru berakibat pada degradasi lingkungan, alih fungsi lahan pariwisata menjadi bangunan bertingkat. Hal ini misalnya tampak pada rencana pembangunan hotel di Pantai Pede, Labuan Bajo, baru-baru ini.

Kasus lain seperti perselingkuhan investor dengan penguasa untuk mengkonstruksi regulasi pembenaran kaidah lingkungan serta ekploitasi kawasan lindung demi bangunan menjulang.

Pendekatan yang dilakukan selama ini lebih banyak berorentasi uang, dengan alasan yang mulia yakni meningkatkan pendapatan daerah. Dan keberlangsungan lingkungan dikesampingkan begitu saja.

Padahal, dana yang didapat tak akan dapat menggantikan kerusakan lingkungan serta dampak negative lain yang ditimbulkan.

Oleh sebab itu, tidak ada alasan lain untuk segera merubah pola pikir dan pendekatan dalam menjaga keberlangsungan pariwisata yang sejalan dengan isu lingkungan sebagai domain pariwisata.

Pencegahan

Berikut, sejumlah langkah pencegahan untuk meminimalisasi segala aktivitas destruktif lingkungan yang bermuara pada kesemerawutan pariwisata.

Pertama, promosiPara pemangku kepentingan perlu giat melakukan penyuluhan terhadap bahaya yang menurunkan kualitas lingkungan. Contoh sederhana, mengajak masyarakat berlaku ramah terhadap lingkungan, dengan tidak membuang sampah sembarangan. Aksi lainnya seperti memberi gambaran mengenai aktivitas di tempat lain sehingga dijadikan pelajaran misalnya rusaknya trumbu karang di objek wisata pantai utara Jawa akibat pengambilan ikan dengan bahan peledak, dan lain sebagainya.

Kedua, proteksi khusus. Langkah ini merujuk pada produk regulasi lingkungan seperti rencana tata ruang wilayah beserta sanksi yang memberikan efek jera. Selama ini peraturan terkait lingkungan dan rencana ruang hanya menjadi macan kertas, karena tidak disertakan sanksi yang tegas dan berefek jera.

Ketiga, evaluasi. Aksi ini mencocokan kondisi sebenarnya (eksisting) dengan rencana awal (RTRW). Pada tahap ini, segala penyelewengan beserta dampaknya akan terdeteksi dengan menerapkannya secara akurat dan transparan.

Keempat, “pengobatan” dari segala penyelewengan. Bentuk pengobatan dapat berupa menjatuhkan sanksi bagi pelanggar, pengembalian fungsi aslinya, misalnya kasus alihfungsi kawasan lindung, maka pihak penyeleweng tersebut berkewajiban mengembalikan lahan tersebut ke fungsi aslinya.

Kelima, rehabilitasi,  pemulihan lingkungan, terutama objek/area penyimpangan dengan pengawasan yang lebih intens serta tak lupa proteksi terhadap kawasan lain yang berpotensi “disulap”.

Kepemimpinan

Aktor utama dalam keberlanjutan pariwisata masih disandang sang pemimpin setempat (Bupati/Walikota). Kelima alur pencegahan diatas niscaya terealisasi dan berfaedah apabila sang pemimpin hanya menjadi pemimpi.

Berani melawan segala bentuk penyimpangan kaidah lingkungan, tidak kompromi dalam menegakan peraturan, berani mengambil resiko dan cerdas membaca perkembangan aktivitas pariwisata.

Pepatah “tunjukan wajah kotamu, maka kutahu wajah walikota/Bupati mu” mempertegas andil pemimpin dalam menata keberlangsungan kegiatan pariwisata.

Kota membutuhkan pemimpin yang memberikan contoh kepada bawahannya untuk mengambil langkah persuasif, mengajak warga bersahabat dengan lingkungan, membuat regulasi yang pro-keberlanjutan lingkungan, menjatuhkan sanksi yang adil dan tegas, menjaga tatanan lingkungan dengan cara cerdas, perizinan pembangunan akomodasi yang transparan dan sesuai regulasi.

Kiranya, pemilu kepala daerah secara serentak yang rencananya akan diadakan pada tahun ini menjadi momen yang istimewa bagi masyarakat lokus kota pariwisata untuk menentukan pemimpin yang pro pariwisata berkelanjutan.

Penulis adalah Koordinator Bidang Penelitian dan Pengembangan Ikatan Alumni Planologi Universitas Trisakti, Jakarta

 

 

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini