Kemana Setelah Tamat SMA?

Floresa.co – Menghadapi Ujian Nasional (UN) hanyalah salah satu tahap kecil yang mesti dilalui ribuan siswa dan siswi SMA senin depan. Persoalan lain yang tak kalah beratnya adalah: kemana mereka setelah lulus?

Tentu, perguruan tinggi adalah target selanjutnya. Namun urusan universitas tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Jurusan, tempat, biaya, dan prospek masa depan menguras pertimbangan matang agar sebisa mungkin dengan mudah mendapat pekerjaan di kemudian hari.

Untuk itu, ada banyak persoalan yang bisa menjadi cermin. Salah satunya adalah keluhan dari seorang mahasiswi, Elsa Hadia dalam artikelnya di kolom Aletheia beberapa waktu lalu.

Dalam tulisan berjudul, “Tak Rela Pulang Kalau Sukarela”, ia mengkuatirkan persoalan tingginya lulusan tenaga medis, tetapi tak dibarengi dengan kebutuhan tenaga kerja.

Jumlah tenaga sukarela — kerja tapi tak digaji sewajarnya — akhirnya melonjak.

Reaksi terhadap masalah demikian cukup beragam. Ada yang mengatakan kebijakan publik perlu mendapat perhatian. Pemerintah perlu kreatif dalam menyiapkan lapangan kerja.

Sementara di sisi lain, ada yang menganjurkan agar jurusan kuliah harus dipikir matang. Jangan sampai pilihan tidak menjawab kebutuhan masyarakat.

Pertanyaannya, apakah pertimbangan kuliah menjadi urusan yang bersifat personal ataukah menjadi urusan pemerintah?

Memang perlunya pertimbangan dari masing-masing orang tak bisa disangkal. Setiap orang perlu bijak dalam menjajaki jurusan kuliahnya.

Akan tetapi, sudah menjadi rahasia umum bahwa jurusan kuliah belum tentu bidang yang digandrungi. Adakalanya jurusan kuliah adalah titipan orang tua dan teman-teman.

Akibatnya, persoalan muncul setelah beberapa semester kemudian. Karena tak menemukan kenyamanan dengan jurusan yang telah dipilih, semangat kuliah menjadi pudar. Akhirnya, hasil pun bisa tidak maksimal.

Tentu kurangnya informasi dapat menjadi salah satu akar masalah. Harus diakui informasi tentang perguruan tinggi untuk masyarakat di NTT, juga Flores khususnya tak sebanyak yang didapat orang yang tinggal di kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Jogja, dan lain-lain.

Jika demikian, pandangan Dan Ariely, dalam buku “Predictably Irrational” (2008) bisa menjadi nyata. Terbatasnya supply informasi membuat orang jatuh pada penentuan pilihan yang tak berdasar cukup rasional.

Pilihan irasional menjadi sangat potensial: kemana orang paling banyak memilih, ke situ saya pergi.

Pemerintah karenanya dapat mengambil porsi ini. Informasi seputar perguruan tinggi perlu disosialisasikan kepada anak-anak di SMA.

Jurusan kuliah dan propek tiap bidang kuliah harusnya diinformasikan juga. Bila perlu, analisis bidang-bidang yang diperlukan di daerah dalam jangka waktu tertentu disebarluaskan. Di sinilah pemerintah bisa berperan sebagai fasilitator.

Selain itu, pemerintah bisa mendorong dan membalut kembali dalam bahasa yang lebih positif tentang bidang-bidang yang ditelantarkan selama ini seperti bidang-bidang pertanian, seni, peternakkan, dan lain-lain agar semakin menjadi bidang-bidang yang bisa difavoritkan.

Dengan mengambil langkah demikian, pemerintah memberikan dasar pertimbangan bagi anak-anak remaja walaupun kebebasan pilihan tetap masih tergantung kepada pribadi masing-masing.

Sekurang-kurangnya pemerintah tidak memberikan kesan melepas tangan dan menelantarkan.

Kebutuhan tersebut juga dirasa begitu mendesak ketika memperhatikan ironi kehidupan sosial akhir-akhir ini. Kuliah di kota belum menjamin bakalan memperoleh pekerjaan yang lebih baik dan sesuai jurusan.

Biaya kuliah yang mahal belum tentu mendapat pekerjaan lebih cepat . Tingkat pendidikan yang semakin tinggi tidak lagi menjadi andalan untuk mendapat mata pencarian. Makanya tanggapan pemerintah sangat dibutuhkan.

Akhirnya, melampaui perdebatan tersebut, cerita dari Erin Tamatur, juga dalam kolom Aletheia bisa menjadi bahan permenungan bagi anak-anak SMA.

Gadis asal Manggarai ini punya pandangan lain soal perjalanan setelah tamat SMA. Baginya, kuliah bukan hanya soal menimba ilmu dari perguruan tinggi, apalagi kalau disebut sebagai masa “persiapan” kerja.

Mantan security ini justru menggabungkan keduanya. Ia bekerja sambil kuliah.

Tentu, semua orang tak perlu dan tak harus menjadi seperti Erin, tapi, apa yang ia lakukan bisa menjadi inspirasi, bahwa banyak sekali jalan yang bisa diambil agar bisa sukses di kemudian hari.

Kampus-kampus misalnya, menyediakan banyak jurusan, yang semuanya baik.

Pengenalan lebih baik akan dunia perguruan tinggi diharapkan nantinya – sebagai salah satu contoh –  tidak membuat anak-anak perempuan dari Flores, hanya menatap jurusan keperawatan sebagai tangga untuk mendapat masa depan yang lebih baik, tetapi juga mengambil jurusan-jurusan lain.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.