Negeri Kita Kehilangan Arah?

Irvan KurniawanOleh: IRVAN KURNIAWAN

Semenjak menjadi Walikota Solo, Gubernur DKI  Jakarta, sampai jutaan rakyat pemilih mengantarnya ke Istana Negara, nama Jokowi kerap kali menjadi trending topic bahkan menjadi newsmaker pemberitaan di berbagai media nasional maupun internasional.

Nama Jokowi pun menjadi magnet politik nasional. Rakyat berhasil menghantar pria Surakarta ini menjadi presiden dengan keringat dan air mata. Banyak orang yang menilai kemenangan Jokowi adalah kemenangan rakyat melawan oligarki. Rakyat berpesta pora dalam kegembiraan politik. Bahkan majalah Times menyebut Jokowi sebagai new hope bagi rakyat Indonesia.

Realitas politik memang tidak bisa diprediksi, melampaui ramalan dan analisis pakar politik. Ibarat tersambar petir, sekejap saja kegembiraan politik itu mulai sirna. Pesimisme menyambar sisa-sisa kegembiraan dengan berbagai ironi politik yang mulai menampakkan wajah aslinya. Kabinet kerja yang sempat digadang-gadang akan diisi oleh orang-orang profesional dan non-partai, nyatanya tidak semua.

Tak lama setelah Jokowi jadi presiden, BBM dinaikan. Pemberantasan korupsi terganjal dengan pengajuan mantan calon Kapolri, Budi Gunawan, yang ternyata tersandung kasus korupsi. Peristiwa ini pun berbuntut pada kriminalisasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menuai banyak kecaman. Tidak hanya itu, Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Mahkama Konstitusi (MK) pun dipilih dari orang partai.

Selain kegaduhan di eksekutif,  parlemen pun tidak ketinggalan ribut. Distingsi Koalisi Indonesia Hebat dan Koalisi Merah Putih (KMP) yang dimotori Prabowo dkk,  mengesahkan UU MD3 yang sarat bagi-bagi kekuasaan (power sharing) di gerbong KMP. Semua pimpinan alat kelengkapan dewan pun dilahap KMP.

Wajah Asli Politik

Naas memang menimpa nasib demokrasi bangsa ini. Nasib jutaan penduduk Indonesia di bawah cengkeraman segelintir oligarki yang punya kuasa dan modal. Mereka mencabik-cabik persatuan, memperlebar jurang kaya-miskin melalui kemiskinan sistemik, lalu memanfaatkan situasi kemelaratan untuk menebar janji, harapan dan uang demi legitimasi demokrasi.

Itulah sepintas kilas balik situasi politik kita semenjak kemenangan Jokowi dan Koalisi Indonesia Hebat. Wajah politik yang sebelumnya penuh dengan aroma kegembiraan, suka cita dan harapan berubah menjadi sangat serem dan menakutkan. Inilah wajah asli politik kita.

Bandit-bandit berdasi itu ternyata siluman demokrasi yang lihai mengemas citra dan berpoles ria. Ekonomi bangsa semakin random dengan trend menurunnya nilai tukar rupiah, eksekusi penjahat narkoba  tidak tau lagi dimana rimbanya, tarik ulur kurikulum 2013 dan kesemrawutan lainnya menghancurkan tirai harapan menjadi berkeping-keping.

Popularitas dan kepercayaan rakyat semakin terkikis, bahkan akhir-akhir ini tercium kabar dari berbagai media akan ada gelombang aksi besar menurunkan Jokowi-JK pada tanggal 20 Mei 2015 nanti seperti pada peristiwa Mei 1998.

Luapan Emosi

Deretan peristiwa di atas memancing amarah publik, ruang publik serempak berubah menjadi luapan emosional rakyat. Hemat saya, ini merupakan bentuk amukan emosi sesaat yang tidak terkontrol dan terlampau tendensius. Mengapa demikian? Di tengah situasi sosial-ekonomi yang masih tidak stabil, masyarakat dengan gampang  dimobilisasi guna mendukung kepentingan politik tertentu.

Dengan kata lain, situasi ini sebenarnya sedang dimanfaatkan oleh segelintir orang agar menjadikan pemerintahan Jokowi sebagai biang kerok ketidakstabilan ekonomi, politik, sosial dan budaya yang telah mengakar selama bertahun-tahun dalam sistem birokrasi maupun di ranah sosial-budaya kita.

Sama halnya dengan luapan emosi akibat rezim Soeharto di tahun 1998. Bahkan seorang tokoh aktivis 98, Budiman Sudjatmiko,  dalam bukunya berjudul “Anak-anak Revolusi edisi kedua” mengakui hal itu. Bagi dia kelemahan reformasi adalah ‘Soeharto yang berkuasa terlalu lama dan  jatuh terlalu cepat’.

Hal yang sama pun terjadi sekarang ini, dukungan dan hujatan kepada Jokowi bergantung pada opini publik dan propaganda politik. Massa rakyat kehilangan daya kritis akibat gempuran opini dan agenda setting melalui penguasaan informasi dan wacana publik.

Ada satu pertanyaan penting yang pantas dilayangkan, mampukah ledakan emosional rakyat itu melawan kemapanan oligarkis yang telah mengakar  dan membudaya dalam sistem birokrasi, sosial, ekonomi dan budaya yang dibangun selama bertahun-tahun? Tentu tidak.

Saya bukan seorang Jokowian fanatik, tetapi jangan sampai luapan emosi sesaat ini  menciptakan rasa tidak aman serta mengoyak rasa persatuan kita. Kalau saja Jokowi berhasil digulingkan pada 20 Mei 2015 nanti, siapa yang bisa menjamin Prabowo atau siapa saja yang menjadi presiden tidak berbuat hal yang sama? Bukan kah ini wasting time bagi kita yang masih mengejar ketertinggalan dengan negara-negara lain di dunia.

Partisipasi Ideologis

Realitas politik saat ini adalah penegasan terhadap posisi rakyat yang selalu lemah di hadapan permainan intrik politik kaum elit. Lalu bagaimana posisi rakyat dalam dinamika politik yang tak tentu ini?

Pertama, rakyat harus melihat dan membedah situasi ini secara kritis. Kesadaran kritis itu harus dimulai dari fakta material bahwa politik baik propaganda, opini publik, mobilisasi politik dan kebijakan politik adalah serangkaian perangkat elit untuk memuaskan hasrat kekuasaan mereka.

Karena itu, penggiringan opini publik harus dibaca dari langgam hasrat kekuasaan itu. Kesemerawutan politik akhir-akhir adalah ujian apakah rakyat kuat atau malah tergiring dalam alur permainan itu.  Mereka (kaum elit) sangat cerdas membaca psikologi publik Indonesia, bahwa kita sebagai rakyat cepat terpengaruh dalam permainan opini publik yang disebarkan secara terus-menerus.

Kedua,  membangun partisipasi ideologis. Bung Karno pernah mengatakan, tiap-tiap bangsa dalam masa pertumbuhan, tidak peduli warna kulitnya, pasti akan memasuki masa-masa yang menentukan (decisive periods).

Fase itu akan menentukan kemajuan atau kemacetan, kejayaan atau break-down sama sekali. Ini adalah fase-fase penting kita sebagai sebuah bangsa, sebuah fase untuk menegaskan kembali cita-cita nasional kita: masyarakat adil dan makmur.

Kita perlu sebuah kesadaran ideologis untuk menjebol pikiran korup , malas dan gampang tergiring.  Jika kita melihat fenomena akhir-akhir ini, bangsa-bangsa besar yang bisa berkembang di dunia, yang bisa bertahan dari hempasan persaingan global, adalah bangsa-bangsa yang sudah menempa jiwa nasionalnya: bangsa-bangsa berdikari dan memegang teguh kepribadian nasionalnya.

Jika kita sepakat bahwa semua ini adalah permainan segelintir oligarki yang mau menguasai sumber daya negara, maka rakyat tidak boleh terkecoh apalagi terjebak dalam gerbong kepentingan tertentu. Jika elit kita sedang sakit, kekuatan ideologis rakyat yang dapat meluruskan kembali arah dan tujuan mengapa negara ini lahir sebagai bangsa yang berdaulat.

Negara ini  lebih menguras sumber dayanya untuk mengejar sesuatu yang pragmatis dan semu. Pemerintah capek, rakyat bingung dan  cita-cita nasional kita seperti yang tertuang dalam UUD dan Pancasila semakin tenggelam dalam silang sengkarut kepentingan semu.

Penulis adalah aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Kupang

spot_img

Artikel Terkini