Kicauan Para Pekerja Seks di Australia

Sumber: Google
Sumber: Google

Floresa.co – Artikel di Mamamia, sebuah majalah perempuan Australia, yang khusus membahas nasih PSK guna memperingati 25 tahun dirilisnya film Pretty Women mengangkat soal kehidupan Pekerja Seks Komersial (PSK).

Dalam artikel tersebut, penulis berargumen bahwa nasib PSK sebenarnya jauh lebih buruk jika dibandingkan dengan nasib tokoh PSK yang diperankan Julia Roberts dalam film tersebut.

Namun, artikel tersebut memicu aksi protes dari beberapa PSK di dunia maya dari ratusan yang berprofesi demikian. Aksi itu ditandai dengan munculnya tanda pagar #faceofprostitution di media sosial tweeter.

“Mahasiswi. Bercita-cita menjadi pengacara. Aktivis. Anak perempuan, adik, pekerja seks. Saya tidak perlu diselamatkan.”

Seorang PSK, Tilly Lawless mengaku marah dengan isi artikel tersebut karena membayangkan profesi PSK sebagai sesuatu yang membahayakan.

Dengan menampilkan foto dirinya pada jejaring Instagram, Tilly hendak menampilkan wajah lain prostitusi.

Tilly mengaku telah bekerja sebagai PSK di Sydney secara legal sejak dua bulan lalu dan beberapa saat kemudian, Tilly dihubungi Scarlett Alliance, Asosiasi Pekerja Seks Australia yang selanjutnya meminta Tilly memunculkan tagar khusus di Twitter.

Dengan cepat, #faceifprotitution menyebar luas. Tagar itu juga dipakai sebagai pernyataan sikap para PSK di Australia. Mereka mengunggah foto wajah mereka secara terang-terangan di Tweeter, bahkan ada yang untuk pertama kali mengaku berprofesi sebagai PSK.

“Saya benar-benar kaget dan gembira,” ujar Tilly kepada BBC. Sebab, menurut dia, “PSK amat jarang diperlakukan sebagai manusia dan kerap kali hanya tubuh kami yang dibicarakan. Namun, menaruh wajah kami di media sosial pengaruhnya sungguh kuat.”

Senada dengan Tilly, Holly, yang juga berprofesi sebagai PSK, mengaku amat keberatan dengan foto yang sering dipakai untuk menggambarkan nasib PSK, yakni foto-foto perempuan asal Eropa Timur korban perdagangan manusia.

“Itu bukan wajah kami, bukan pengalaman hidup kami,” kata Holly kepada BBC.

“Artikel itu menggunakan argumentasi perdagangan manusia untuk membungkam suara kami dan pada saat bersamaan membungkam suara-suara para korban perdagangan,” timpal Madison Messina, seorang PSK di Australia.

Menghapus perbudakan seks

Seperti yang diberitakan Kompas.com, Senin, (6/4/2015), tulisan yang membandingkan nasib para PSK dengan tokoh PSK dalam film Pretty Woman pertama kali muncul pada situs organisasi Kristen bernama Exodus Cry. Pada situs daringnya, organisasi itu menyatakan berkomitmen menghapuskan perbudakan seks.

Adapun penulis tulisan tersebut ialah Laila Mickelwait. Dia menyatakan film Pretty Woman telah membujuk perempuan-perempuan muda ke dunia pelacuran yang membuat mereka mengalami pelecehan dan trauma.

Meski dihadapkan pada argumentasi Tilly Lawless dan tagar #facesofprostitution, Mickelwait mengatakan kepada BBC bahwa dia tetap dengan pendiriannya. Bahkan, menurut dia, legalisasi prostitusi justru menciptakan perdagangan manusia bertumbuh subur.

“Hanya karena ada segelintir perempuan dan pria yang mengunggah foto di Twitter dan mengatakan profesi mereka memberi kekuatan, tidak berarti industri seks benar. Mereka punya suara, tetapi suara mereka ialah suara minoritas yang punya keistimewaan beredar di Twitter dan bisa mengunggah segala macam foto,” kata Mickelwait. (ARJ/Floresa).

spot_img
spot_img

Artikel Terkini