Ellsa Hadia: Tak Rela Pulang Kalau Suka-Rela

Kolom ini, disediakan khusus oleh Floresa.co untuk tempat berbagi pengalaman, cerita-cerita bagi anak muda, putera-puteri asal NTT . Isinya tak seserius – kalau boleh dikatakan demikian – dengan tulisan-tulisan lain yang dipublikasi Floresa.co. Di sini, kami membagi tulisan-tulisan santai, yang ringan untuk dicerna. Jika Anda tertarik menulis di sini, silahkan kirim artikel ke [email protected].

1428150348033
Ellsa Hadia

Beberapa tahun terakhir, sebutan “tenaga suka-rela”  menjadi sangat familiar. Suka-rela kerap diartikan dengan suatu sikap yang siap membantu dan menolong orang lain tanpa meminta imbalan apa-apa.

Akan tetapi tak semulia sebutannya, “tenaga suka-rela” sebetulnya menyimpan persoalan tersendiri. Di Manggarai, sebutan tenaga sukarela dilekatkan kepada tenaga kesehatan seperti perawat yang bekerja tanpa digaji sewajarnya. Kadang tiap bulan, mereka tidak mendapat apa-apa meskipun telah bekerja dengan sistem kerja yang ketat sebagaimana pegawai negeri sipil lainnya.

Persoalan ini lantas membawa ketakutan tersendiri bagi para mahasiswa-mahasiswi kesehatan. Elsa Hadia, salah seorang mahasiswi keperawatan semester 6 di STIK Carolus, Jakarta mulai was-was dengan sebutan tenaga suka-rela.

Gadis kelahiran 8 Maret ini akan berbagi melalui floresa tentang kecemasan masa depannya sebagai seorang perawat yang ingin berkarya di Manggarai suatu saat nanti.

Berikut curahan pikiran dan hati alumnus SMP-SMA Fransiskus Xaverius Ruteng ini:

Pada waktu kecil, saya sering ditanya: mau jadi apa jika kelak sudah beranjak dewasa? Biasanya saya enggan menjawab. Tak sedikit pun berpikir menjadi apa nantinya. Seiring bergulirnya waktu dan semakin banyaknya informasi yang terdengar, saya mulai serius memikirkan pilihan spesialisasi pendidikan di perguruan tinggi. Hingga pada suatu waktu, saya jatuh cinta pada profesi yang satu ini, PERAWAT. Jangan tanya mengapa, sebab jatuh cinta tak butuh alasan.

Menekuni kuliah di bidang kesehatan, memang selalu menarik. Selain mendapatkan ilmu yang tergolong istimewa, berada di sini adalah kesempatan terbaik untuk mengatur dan menjaga pola hidup yang sehat. Ilmu yang didapatkan pun tidak mengawang-awang, tetapi lebih membumi karena soal kesehatan orang per orangan; menyangkut kehidupan fisik kita. Kejutan-kejutan kecil berupa pengetahuan baru yang didapatkan, membuatku semakin mencintai profesi perawat.

Saya tak terlalu peduli akan penilaian orang terhadap profesi ini dan senantiasa menanggapi santai saat orang lain tidak menaruh hati pada profesi perawat. Sebagian besar masyarakat masih menghargai kami yang menjadi perawat. Pernah, ada yang terang-terangan memberikan pujian.

“Menjadi perawat itu mulai banget ya”.

20150404192010
Ellsa bersama teman-temannya di STIK Carolus Jakarta

Dinilai mulia, mungkin karena bisa merawat dan mengobati orang sakit tanpa mengenal lelah. Bagi seorang perawat, kegagalan terbesar yang sering dikenang adalah bahwa ia pernah tidak berhasil menyelamatkan satu nyawa. Perawat tak pernah kenal tanggal merah atau weekend. Sebab, penyakit enggan bertandang hanya pada jam-jam dinas. Tak berlebihan, jika saya sematkan julukan “klinik berjalan” bagi saya dan segenap kolega yang menekuni profesi ini. Melayani dengan tulus dan segenap hati adalah semboyan yang senantiasa diprasastikan pada setiap hati dan pribadi kami. Dan penting, bahwa saya sangat mencintai profesi ini.

Mengenyam pendidikan di tanah orang, jauh dari kerabat dan orang tua adalah salah satu hal tersulit yang pernah kuhadapi. Meski sulit, tapi saya harus pergi dan berguru di negeri orang demi mendapatkan yang terbaik. Saat ingin kuliah di Jakarta, sempat saya bernazar: suatu waktu saya akan kembali untuk berkarya di sini, di tanah sendiri—bumi Manggarai.

Memilih berkarya di daerah bukan tanpa alasan. “Hebat di tanah orang tidak akan membuatmu bahagia jika engkau tidak berbuat apa-apa untuk tanah asalmu sendiri”. Kiranya jargon ini yang menginspirasi banyak putera dan puteri daerah untuk memilih pulang. Kecintaan dan dorongan untuk membangun daerah masih merupakan impian sebagian besar pemuda dan pemudi idealis dari daerah.

Di daerah, ibarat gayung enggan bersambut, niat-niat baik para putera dan puteri daerah kadang tidak terfasilitasi secara memadai. Situasi di daerah, membuatku menjadi cemas. Terlalu banyak cerita tentang kisah duka menjadi “tenaga sukarela” di daerah, terlebih Manggarai. Pelangi menawan yang pernah kubayangkan, lambat laun tertutup kabut pilu kisah tragis para sukarelawan. Mendengar berbagai kisah getir mereka, saya jadi hopeless !!!

Term “tenaga  sukarela” sebenarnya cukup menggelitik. Sakit dan penyakit yang diderita masyarakat Manggarai adalah sakit-penyakit biasa yang juga diderita masyarakat pada umumnya. Mulai dari batuk-pilek sampai jantungan. Sakit-penyakit ini bukan wabah atau bencana alam. Mengapa harus ada “sukarelawan”?

Dari porsi kerja; tenaga sukarela mendapatkan jam dinas yang sama banyaknya dengan para perawat yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS). Juga, sama-sama dituntut profesional, namun tidak dihargai—dari segi upah. Misalnya, tenaga sukarela digaji sekali dalam tiga bulan dengan upah yang sangat minimum. Alibi para pemegang kekuasaan biasanya begini: daripada tidak kerja, mendingan jadi tenaga sukarela saja. Kadang penguasa bisa sekejam itu. Lebih celaka lagi, para sukarelawan menelan mentah-mentah alibi semena-mena yang didoktrinasi ini. Akibatnya, para “tenaga sukarela” susah untuk kritis terhadap situasi yang dihadapinya. Secara pribadi, saya tidak terlalu simpati dengan alibi seperti ini.

Merujuk ke belakang, yakni merekapitulasi secara jujur biaya pendidikan seorang perawat; banyaknya biaya yang dikeluarkan orang tua untuk sekolah anaknya sangat tidak sesuai dengan upah yang diperoleh saat anaknya mulai bekerja. Di sini, hemat saya, profesi perawat—yang bukan PNS—di daerah tidak dihargai. Ini tidak adil dan tentu tak fair.

Harapan seorang mahasiswa dengan kuliahnya adalah bisa menjadi tenaga kerja yang profesional. Sekaligus dihargai dari tingkat pendidikan dan jasa yang diberikan jika bekerja pada suatu hari nanti. Harapan ini, terutama soal upah, tidak didapatkan di Manggarai. Mungkin terlalu naïf untuk meminta pemerintah memperbaiki keadaan. Pemerintah, kesannya, sudah kehilangan rasa peka untuk urusan sesederhana ini. Hidup dan bekerja di zaman sekarang perlu memperhitungkan upah kerja. Memang uang bukanlah segala-galanya, namun segala-galanya pasti butuh uang. Realistis saja. Saya tau tulisan ini terbilang cukup berani, namun penting untuk disampaikan dan wajib didengarkan.

spot_img

Artikel Terkini