Khotbah Misa Kamis Putih di Katedral Ruteng: Saling Membasuh Kaki

Romo Lian Angkur PrOleh: ROMO LIAN ANGKUR PR

Sesaat sebelum berpisah dan mengurbankan diriNya di salib, Yesus mengadakan perjamuan malam terakhir bersama para muridNya. Bersamaan dengan tradisi perjamuan Paskah Yahudi, sebagaimana yang dikisahkan dalam Kitab Keluaran pada bacaan pertama (Kel 12: 1-8. 11-14), Gereja menjadikan perjamuan terakhir ini sebagai cikal bakal dari penetapan Ekaristi dan imamat tahbisan. Ini yang ditegaskan kembali oleh Rasul Paulus dalam suratnya yang pertama kepada jemaat di Korintus tadi (1 Kor. 11: 23-26). Namun, dalam Injil Yohanes, yang ditonjolkan adalah tindakan Yesus membasuh kaki para muridNya (Yoh. 13: 1-15). Tindakan ini tidak boleh luput dari perhatian dan refleksi Gereja (kita).

Keduanya harus dipadukan. Perpaduan antara penetapan Ekaristi dan pembasuhan kaki dimaksudkan agar para muridNya selalu ingat dan paham akan adanya hubungan yang sangat erat, tak terpisahkan, antara perayaan Ekaristi (misa) dengan pelayanan yang kita berikan sambil mewartakan cinta dan belas kasih Allah. Dengan kata lain, melalui perjamuan malam terakhir yang disertai dengan pembasuhan kaki, Yesus meminta para pengikutNya untuk “membasuh kaki” orang lain melalui sikap saling mengasihi, melayani, dan mengampuni.

Mengapa Yesus harus membasuh kaki para muridNya? Sekurang-kurangnya ada dua situasi khusus yang melatari sekaligus menyertai tindakan Yesus ini.

Pertama, pada zaman Yesus, khususnya dalam budaya Yahudi, membasuh kaki orang lain adalah pekerjaan seorang budak. Kegiatan ini biasanya dibuat sebelum seseorang memasuki sebuah rumah dan sebelum memulai sebuah perjamuan (makan bersama). Karena itu, selalu tersedia tempayan air yang besar di depan pintu masuk rumah; dan seorang budak ada di sana dengan kendi air dan handuk untuk membasuh kaki yang kotor dari para tamu. Rombongan Yesus yang kecil itu tidak memiliki seorang budak. Tugas itu haruslah dibagi dan dikerjakan oleh mereka sendiri. Tapi itu mereka tidak lakukan.

Menurut catatan penginjil Lukas (Luk. 9: 46-48), suasana di kalangan para murid waktu itu masih mempersoalkan siapa yang terbesar di antara mereka. Mereka masih terlibat dalam pertengkaran, persaingan, masing-masing mempertahankan gengsi dan kebanggaannya. Sehingga tidak ada seorang pun yang rela turun untuk membasuh kaki sesamanya. Menariknya, situasi ini segera dibaca oleh Yesus. Akhirnya Yesus mengambil alih tugas itu dengan cara yang hidup dan menarik. Di sini Yesus memberikan teladan pelayanan dengan terlebih dahulu melakukannya sebelum berkata-kata atau menasihati mereka; “Jikalau Aku, Tuhan dan Gurumu, membasuh kakimu, maka kamu pun wajib saling membasuh kaki. Sebab Aku telah memberikan suatu teladan kepadamu, supaya kamu juga berbuat seperti yang telah Kuperbuat padamu.”

Yesus mencoba mengatasi situasi yang sedang terjadi di antara para muridNya. Yesus mau menunjukkan bahwa untuk menjadi yang terbesar, terhormat, dan menjadi seorang pemimpin, pertama-tama seseorang harus siap dan rela untuk melayani. Singkatnya, seorang murid Tuhan hendaknya menjadi besar karena kasih dan pelayanan, bukan atas dasar kedudukan dan kuasa. Status, posisi, atau kedudukan yang melekat pada seseorang hendaknya dilihat sebagai sarana, kesempatan istimewa, peluang yang lebar untuk memberikan kasih, perhatian, dan pelayanan kepada orang lain, bukannya untuk menguasai atau berlaku sewenang-wenang. Sebab, sekali lagi, keagungan dan kebesaran seorang Kristiani terletak pada pelayanan, bukan pada kekuasaan. Mahatma Gandhi, seorang tokoh besar India, seorang yang bukan Kristen, amat dipengaruhi oleh hidup dan pesan Yesus, khususnya tentang Kotbah di Bukit dan pembasuhan kaki. Bahkan ketika ia mempunyai kekuasaan besar sebagai pemimpin negerinya, ia mengambil tempat yang sangat sederhana di ashram, tempat ia tinggal. Tugasnya setiap hari adalah membersihkan kamar belakang dan halaman rumah. Tanda yang sangat jelas bahwa ia ingin melayani orang lain.

Kedua, di samping sebagai pekerjaan pokok seorang budak, kebiasaan masyarakat yang berlaku saat itu adalah orang yang lebih rendah membasuh kaki orang-orang yang lebih tinggi kedudukannya. Murid membasuh kaki guru, rakyat jelata membasuh kaki raja. Tidak akan pernah terjadi seorang raja berlutut di depan kaki rakyatnya, dan seorang guru berlutut di depan kaki murid-muridnya. Dengan demikian reaksi penolakan Petrus dimengerti dalam konteks ini. Petrus tidak mau Yesus, yang adalah guruNya, membasuh kaki muridNya. Di sinilah Petrus masih terperangkap dalam pola pikir dan kebiasaan itu.

Reaksi Petrus, yang mewakili para murid dan semua orang yang hidup saat itu membenarkan suatu situasi di mana hampir semua kelompok masyarakat dan budaya dibangun dengan model piramid. Yang berada di puncak adalah yang berkuasa, yang kaya, dan yang pandai. Mereka dipanggil untuk menguasai dan memimpin. Sedangkan yang berada di bagian paling bawah adalah para imigran, budak, pelayan, yang tidak punya pekerjaan, kaum miskin, dan yang menyandang cacat. Kelompok ini umumnya dipinggirkan dan tidak diperhitungkan dan selalu mendapat tempat yang terakhir. Melalui tindakan membasuh kaki, Yesus menempatkan diri pada tempat yang paling bawah, yang paling akhir, tempatnya budak. Yesus yang adalah Tuhan rela merendah dan mengambil pekerjaan seorang hamba dengan membasuh kaki manusia.

Meminjam istilah yang lagi ngetrend di tanah air, Yesus sedang mengadakan blusukan. Dengan ini, Yesus sedang mengubah budaya atau membongkar pola pikir dan kebiasaan masyarakat, dari model piramid menjadi model tubuh. Menurut model tubuh, semua orang mempunyai tempat, saling membutuhkan dan saling tergantung. Masing-masing dipanggil untuk mengemban tugas perutusan dalam tubuh umat manusia dan dalam Gereka. Yesus datang untuk menjadikan semuanya baru. Bagi Yesus, setiap pribadi berharga, dicintai Allah, dipanggil untuk menjadi “rumah” Allah, setiap pribadi mempunyai anugerah atau karunia untuk diberikan kepada orang lain, dan setiap pribadi harus dihormati sungguh-sungguh. Pada saat itulah Yesus mengajak para muridNya untuk memberikan perhatian dan menghormati satu sama lain khususnya mereka yang paling kecil dan sering terlupakan dalam masyarakat.

Makna lain yang tidak kalah penting, dari pembasuhan kaki yang dilakukan Yesus adalah nilai pengampunan. Membasuh berarti membersihkan. Yesus membasuh kaki para muridNya sebagai tanda pembersihan hati mereka, sebagai tanda pengampunan. Setiap pengikut Yesus diajak untuk saling mengampuni atau memaafkan. Hanya dengan mengampuni, kita akan memiliki masa depan. Sebaliknya, jika kita tidak rela memaafkan, kita akan berjalan di tempat bahkan senantiasa hidup pada masa lalu karena masih terikat dengan orang atau peristiwa yang menyakitkan. Berhadapan dengan situasi ini, pengampunan menjadi sangat penting dan senantiasa dibutuhkan karena pengampunan itu sejatinya menyembuhkan..

Sejarah umat manusia telah berubah, sejak Allah berlutut di depan kaki manusia (kita) dan segera meminta kita untuk “berlutut” juga di depan kaki sesama. Yesus mengajak setiap pengikutNya, termasuk kita, untuk melayani dan mengampuni orang lain atas dasar kasih yang tulus dengan mengendepankan kerendahan hati. Inilah buah-buah Ekaristi, doa, dan ibadat,  yang sering kita rayakan. Dengan ini, kita tidak hanya bersatu dengan Tuhan di meja altar tetapi juga bersatu lebih erat lagi dengan Tuhan di atas meja pelayanan, di mana kita semakin bersatu dengan orang lain. Sejenak kita boleh bertanya; untuk sampai ke sana, semangat, roh, atau spirit apa yang perlu ada dan hidup di dalam hati dan diri kita?

Menjawabi pertanyaan ini, saya mengajak kita untuk mengamati secara baik, tindakan Yesus sebelum membasuh kaki para muridNya. Yesus mengawalinya dengan dua aksi ini, yakni menanggalkan jubah dan mengikat tali/kain pada pinggangnya. Maksudnya adalah agar bisa melayani dan mengampuni dengan penuh kasih dan rendah hati, kita hendaknya rela menanggalkan dan melepaskan kebanggaan, gengsi, dan kemapanan diri, menanggalkan cara pandang yang salah, rasa curiga, dendam, dan berpikir negatif terhadap orang lain. Ini yang tidak terjadi dengan para murid tadi. Mereka tidak rela menanggalkan gengsi dan kebanggaannya sehingga enggan untuk turun membasuh kaki satu sama lain. Selanjutnya dengan mengikat tali/kain pada pinggangNya, Yesus mengajak kita untuk menahan diri, mengolah keinginan, mengendalikan diri dari hal-hal yang menghambat seperti motivasi yang kurang sehat dan terselubung di balik pelayanan dan pengampunan yang kita berikan. Misalnya supaya dipuji orang lain, mencari popularitas, nafsu untuk berkuasa, mengejar nama baik, dan mendapat imbalan materi. Semuanya ini perlu diikat. Hanya dengan itu, kita beralih menjadi pribadi-pribadi Ekaristi yang tulus, lepas-bebas serta sungguh mulia dan berharga di mata Tuhan dan berkenan di mata sesama. Semoga.

Rm Lian Angkur Pr adalah Pastor Kapelan Paroki Sta. Maria Assumpta dan St. Yosef Katedral Ruteng. Khotbah ini dibawakan Romo Lian dalam Misa Kamis Putih hari ini, pukul 18.00 WITA di Katedral Ruteng. 

spot_img

Artikel Terkini