Carolina Riflina Adak: Akhirnya Senang Bisa Kuliah di Kupang

Baca Juga

Kolom ini, disediakan khusus oleh Floresa.co untuk tempat berbagi pengalaman, cerita-cerita bagi anak muda, putera-puteri asal NTT . Isinya tak seserius – kalau boleh dikatakan demikian – dengan tulisan-tulisan lain yang dipublikasi Floresa.co. Di sini, kami membagi tulisan-tulisan santai, yang ringan untuk dicerna. Jika Anda tertarik menulis di sini, silahkan kirim artikel ke [email protected].

Carolina Rifliana Adak
Carolina Rifliana Adak

Awalnya Carolina Rifliana Adak – akrab disapa Ivy –  tak berniat kuliah di Kupang. Ia lebih memilih di tempat lain, di Bali.

Namun, apa mau dikata, gadis kelahiran Ruteng, 03 Desember 1992 ini harus menempuh kuliah di Kupang pasca gagal tes masuk perguruan tinggi di Bali.

Di Kupang, tempat yang semula tidak ia harapkan itu, ia mampu berdamai dengan situasi, dan pada akhirnya bisa menemukan banyak-hal baik, yang bisa membuatnya merasa bersyukur.

Berikut, alumnus SMAK Fransiskus Saverius Ruteng ini yang sedang kuliah di Poltekkes Kemenkes Kupang membagi ceritanya untuk pembaca Floresa.co.

Pengalaman adalah guru yang paling berharga. Kalimat ini tentu sudah tak asing lagi bagi kita. Dan saya yakini kalimat ini benar adanya. Pengalaman hidup mengajarkan seseorang banyak hal, yang bahkan tak ditemuinya saat menempuh pendidikan formal.

Tahun 2011, adalah tahun dimana saya, selayaknya para senior, pergi menuntut ilmu di perguruan tinggi di luar Pulau Flores. Menyimpan rapi seragam putih abu-abu, lalu berkemas dan siap menjadi seorang mahasiswa.

Pagi itu, di tahun 2011, saya dan ayah meninggalkan rumah, berangkat ke Bali. Target saya adalah melanjutkan studi di salah satu perguruan tinggi di Bali. Seminggu lamanya berada disana,  mengikuti ujian masuk dan berbagai tes lainnya. Tapi sayang, kehendak Tuhan lain. Bali bukan jadi tempat bagi saya untuk menuntut ilmu.

Kupang, ternyata menjadi tempat bagi saya untuk melanjutkan pendidikan. Namun, pilihan ke Kupang menimbulkan banyak pertanyaan dari teman-teman saya: Kenapa harus Kupang? Apa bagusnya Kupang? Tak ada apa-apa disana.

Saya kemudian berpikir, “Benarkah demikian?” Saya pun mengingat kalimat yang diucapkan guru matematika saat SMA bahwa akan sangat luar biasa rasanya saat kita telah menginjakkan kaki dan menempuh pendidikan di tanah Jawa.

Benar juga, mengingat perkembangan yang ada di nusantara ini, Pulau Jawalah yang paling pesat.

Tapi, semua itu hanya jadi bahan permenungan saja, karena tak dapat lagi saya bertindak apa-apa. Saya sudah resmi diterima di salah satu kampus kesehatan di Kupang, Politeknik Kesehatan Kupang, jurusan farmasi.

Hari-hari saya lalui, mengikuti perkuliahan, jadwal praktikum yang padat dan ikut serta dalam satu organisasi kerohanian di kampus.

Mungkin sekilas tak ada yang istimewa, tetapi tidak dengan proses di dalamnya. Saya akhirnya menyadari, bahwa saya beruntung ditempatkan di sini.

Dalam organisasi kerohanian kampus, saya bersyukur karena membentuk karakter saya, yang awalnya pemalu, ditantang untuk berani tetapi tetap pakai hati.

Persekutuan ini pun mengantarkan saya bertemu orang-orang hebat. Kakak-kakak yang menyandang gelar sampai pada S2, yang juga lulusan luar negri, yang punya kerinduan membangun Nusa Tenggara Timur berlandaskan kasih Tuhan.

Di Kupang, saya juga merasakan apa yang namanya toleransi beragama. Ini berangkat dari pengalaman saya, dimana toleransi sangat tinggi. Sapaan hangat dan sopan akan sering kita dengar dimana-mana. Saya pun sekarang bekerja di salah satu apotek di Kupang, dimana pimpinan, dokter, bidan dan apoteker semuanya mayoritas muslim. Tetapi tetap tak ada kesenjangan. Indahnya perbedaan.

Saya sendiri melihat NTT punya potensi luar biasa untuk menjadi provinsi hebat. Dilihat dari sektor pertanian dan peternakan, jangan ditanyakan lagi.

Meski memang harus diakui, masalah sumber daya manusia (SDM) masih menjadi sorotan utama, sehingga pengembangannya pun seperti terlihat jalan di tempat.

Tetapi di situlah fungsi kita sebagai generasi penerus, belajar dan menempuh pendidikan setinggi mungkin, lalu kembali dengan segudang ilmu dan diaplikasikan untuk membangun NTT

Saya juga bersyukur, setidaknya saya tidak hanya mengenal dan menapakan kaki di Flores, tetapi juga tanah Timor. Bukankah segala sesuatu harus dimulai dari dalam diri sendiri? Sama halnya dengan NTT, saya diberi kesempatan untuk mengenal dan menikmati NTT lebih dahulu, sebelum daerah lain.

Akhirnya, dimanapun kita ditempatkan ada hal baik yang menunggu kita. Tak ada tempat di nusantara ini yang sangat baik dan sangat buruk. Semua punya kekhasan masing-masing.

Pengalaman kita, dimanapun berada, sekurang-kurangnya memberikan satu pelajaran berharga bagi kehidupan.

NTT memberi dan mengajarkan banyak nilai-nilai kehidupan bagi saya pribadi. Saya bangga menjadi seorang anak perempuan NTT.

Terkini