Pola Korupsi dan Resikonya

Ilustrasi korupsi
Ilustrasi korupsi

Oleh: SERVAS PANDUR

Pada 25 Maret lalu, Floresa.co merilis berita penting dengan judul, “Bupati Rotok dilapor ke KPK”.  Dalam berita itu dijelaskan bahwa Rotok dilapor ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), karena diduga melakukan praktek korupsi dalam pemberian izin tambang di Kecamatan Reok.”

Hingga kini, berita itu menjadi yang terpopuler. Korupsi memang telah merebut perhatian masyarakat sejak akhir abad 20, karena risikonya sangat serius yakni kemiskinan, merapuhkan peradaban manusia dan menghancurkan ekosistem.

Di sisi lain, korupsi nyaris tanpa obat selama berabad-abad. Korupsi tulis Robert E. Klitgaard (1991:7), “like illness, corruption is always be with us!”

Korupsi juga sulit dilacak. Alasannya, tulis Vito Tanzi, peneliti korupsi di berbagai negara tahun 1998, “the acts of corruption do not take place in broad day light!” atau korupsi selalu terjadi di tempat gelap.

Khusus di Negara RI, menurut Vito Tanzi, ada ciri lain pola korupsi sehingga sulit dicegah dan diberantas, yakni “Institutionalizing Corruption” atau korupsinya terlembaga.

Tulisan singkat ini hendak mengupas sedikit tentang pola korupsi terlembaga dan risiko bawaannya, khususnya kemiskinan dan penghancuran ekosistem.

Pertama, korupsi pada regulasi dan otorisasi seperti lisensi, izin usaha, aliran kredit bank, pajak, pilihan investasi, SIM, kepemilikan kendaraan, izin membangun rumah, perdagangan luar negeri, paspor, travel, dan foreign exchange yang mensyaratkan adanya dokumen dan otorisasi administrasi negara.

Dari sini terbuka kesempatan memanfaatkan jabatan publik untuk meraup suap dari pihak-pihak yang membutuhkan izin dan otorisasi.

Kedua, kolusi-korupsi di sektor pajak dan syarat-syarat dan insentif pajak pendapatan, pajak nilai tambah, pemanfaatan tanah-tanah swasta, procurement, dan lain-lain. Keputusan dibuat tidak transparan dan tanpa pengawasan efektif. (Shleifer & Vishny, 1993).

Ketiga, korupsi proyek investasi dan dana non-budjeter yang tidak transparan dan tanpa kontrol.

Keempat, memanfaatkan rendahnya kualitas birokrasi yang tidak ideal, korup, dan tidak efisien. Ada ‘instansi basah’ dan ‘instansi kering’. Rendahnya kualitas birokrasi terutama karena tidak ada sistem pengawasan baik internal maupun ekseternal.

Kelima, korupsi melalui pemanfaatan discretionary decision terhadap tanah negara, misalnya zona logging.

Keenam, korupsi melalui otorisasi investasi-investasi skala besar. Ketujuh, korupsi keputusan memberi izin eksplorasi dan eksploitasi hasil hutan milik negara, atau tanah-tanah negara kaya mineral.

Kedelapan, korupsi melalui mekanisme penjualan aset-aset milik negara, termasuk hak pemerintah mengekstrak sumber alam.

Kesembilan, korupsi melalui keputusan privatisasi BUMN dan syarat-syarat privatisasi dan regulasi industi.

Kesepuluh, korupsi melalui monopoli ekspor, impor, atau kegiatan ekonomi lainnya. Misalnya, kontrol rezim berkuasa atas Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Risiko pola korupsi terlembaga sangat serius terhadap negara antara lain merapuhkan kinerja regulasi dan otorisasi, merapuhkan sistem pengawasan tata-kelola dan administrasi negara dan pemerintahan, merusak lingkungan, mengurangi  pendapatan negara, memicu defisit fiskal lebih besar sehingga pemerintah sulit melaksanakan strategi kebijakan fiskal yang solid, merapuhkan kinerja SDM negara, khususnya rendahnya kualitas birokrasi yang memburu rente melalui paktek korupsi bukan karya produktif-inovatif.

Korupsi terlembaga memicu kemiskinan, merapuhkan produktivitas ekonomi karena akses koruptor ke proyek-proyek tanpa kriteria kelayakan proyek investasi.

Korupsi terlembaga mendistorsi kerja pasar dan alokasi sumber ekonomi yang mengurangi efisiensi, pertumbuhan dan  investasi (Mauro, 1995), mendistorsi kebijakan industri (Ades & Di Tella, 1997), mengurangi anggaran operasi dan biaya perawatan aset ekonomi, mengurangi pendapatan pajak dan menghambat aliran investasi.

Penulis adalah Direktur Risk Consulting Group, Jakarta

spot_img

Artikel Terkini