Destinasi Pariwisata NTT: Kaya Tapi Tak Ditata

Danau Rana Mese, salah sau destinasi wisata menarik dengan airnya yang tenang, kental dengan suasana teduh. Ini salah satu destinasi wisata yang potensial di NTT. (Foto: http://www.indonesiatravelingguide.com)
Danau Rana Mese, salah sau destinasi wisata menarik dengan airnya yang tenang, kental dengan suasana teduh. Ini salah satu destinasi wisata yang potensial di NTT. (Foto: http://www.indonesiatravelingguide.com)

Oleh: FERDY HASIMAN

Pencinta pariwisata di tanah air mungkin hanya familiar dengan Pulau Dewata (Bali) sebagai primadona pariwisata republik.

Tak salah dan tak keliru memang menyebut Bali sebagai destinasi wisata, karena daerah itu mampu memikat perhatian dunia.

Gelombang wisatawan asing-lokal berdatangan ke Bali. Mereka ingin menikmati panorama alam, tempat wisata yang ditata apik dan menarik sejak lama.

Tambahan kekayaan budaya lokal Bali membuat wisatawan betah tinggal dan berkunjung terus ke daerah itu. Sampai di sini, tak salah jika orang memandang hanya Bali sebagai destinasi pariwisata nasional.

Namun, destinasi wisata sebenarnya bukan hanya Bali. Beberapa tahun lalu, pemerintah telah menetapkan daerah lain selain Bali sebagai destinasi pariwista. Salah satunya adalah Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).

Propinsi ini terdiri dari 3 pulau besar (Flores, Sumba dan Timor) dan lebih dari 500 pulau kecil. Daerah ini memiliki panorama alam dan wisata yang kaya, namun tetap terbungkus rapi, karena tak satupun pemerintah daerah yang dengan sengaja membangun daerah itu menjadi tempat pariwisata.

Alam NTT masih asri dan bersih. Panorama alamnya indah-indah dan sangat khas. Komodo dan pantai-pantai indah di Labuan Bajo, seperti Pantai Pede, Bidadari, Wae Cecu dan Wae Rana.

Danau tiga warna, Kelimutu di Ende, cukup menarik dan memikat hati wisatawan. Wisatawan juga boleh menikmati surfing pantai-pantai Pulau Rote.

Bukan hanya alam yang indah. Nenek moyang orang NTT adalah arsitek dan jenius yang mampu menyohor mata dunia. Mereka hidup di alam sejarah masa lalu dan lukisan mereka boleh dinikmati anak cucu dan cukup menyita perhatian nasional dan mancanegara di masa kini dan terus merentang ke masa depan.

Itulah yang boleh kita baca dari arsitektur dan penataan Rumah Adat Wae Rebo di Satar Mese-Manggarai.

Warisan budaya itu ingin menunjukan bahwa orang Manggarai adalah arsitek tangguh dan bisa menciptakan peradaban sendiri; khas dan kaya makna. Warisan budaya ini masih terawat apik oleh penerus budaya di Wae Rebo, hanya saja penjaga budaya ini dipandang sebelah mata dan tak diperhatikan pemerintah setempat.

Ironis memang, para penjaga budaya tak diperhatikan hak hidupnya, sementara publik lokal, nasional dan global, menikmati warisan budaya yang mereka rawat dan jaga sejak dahulu kala.

Panorama alam, wisata dan kekayaan budaya, membuat NTT menjadi salah satu destinasi wisata yang paling diminati wisatawan asing-domestik.

Data Pusat Statistik Indonesia (BPS) pada 2012 menunjukan, NTT mampu menarik 48.631 wisatawan asing. Pada tahun 2013, 42 persen dari wisatawan yang masuk NTT adalah wisatawan asing.

NTT juga memikat wisatawan domestik. Tahun 2012, sebesar 338.475 wisatawan domestik berdatangan ke NTT. Jumlah itu terus meningkat. Pada tahun 2013, 45 persen atau sebesar 493.577 adalah wisatawan domestik.

Ada gula ada semut. Bersamaan dengan masuknya gelombang turis asing-lokal ini, berdatangan pula pemain-pemain industri pariwista mencari remah dan untung. Hanya saja, kita tak paham berapa besar keuntungan yang mereka peroleh dari hasil wisata NTT.

Data BPS menunjukan banyak soal itu. BPS mencatat ada 15 hotel berbintang dengan kapasitas 863 ruang dan 1.381 tempat tidur tersebar di seluruh NTT tahun 2012. Minat membangun hotel berbintang itu terus meningkat setiap tahun. Tahun 2013, sudah ada 18 hotel berbintang dengan 925 ruangan dan 1.458 tempat tidurdan terus meningkat tahun 2014 di mana ada 19 hotel berbintang dengan 1.081 ruangan dan 1.665 tempat tidur. Itu baru hotel berbintang. Masih banyak hotel biasa alias tak berbintang di daerah itu.

BPS mencatat kurang lebih 300-an hotel non-star, menyebar di seluruh NTT pada tahun 2014. Ada sekitar 299 hotel biasa dengan 5.078 ruang dan 9.109 tempat tidur.  Jumlah ini meningkat dari tahun 2013 dimana ada 254 hotel biasa dengan kapasitas 4.289 ruangan dan 7.748 tempat tdiur. Sementara pada tahun 2012 hanya ada 248 hotel biasa dengan 4.031 ruangan dan 7.145 ruang.

Data ini menunjukan bahwa NTT siap menjadi ruang hidup pemain-pemain pariwisata mencari remah. Wisatawan yang datang ke NTT bereasal dari berbagai negara, seperti Swis, Jerman, Inggris, Belanda dan Australia. Kebanyakan dari wisatawan asing itu datang ke Labuan Bajo dan Pulau Komodo.

Sayangnya, propinsi yang kaya panorama alam dan budaya alam ini masih tertinggal jauh di belakang. Infrastruktur publik, seperti jalan raya, bandar udara dan fasilitas penunjuang lainnya masih sangat minim. Simak jalan raya di setiap kabupaten di daerah rusak parah dan tak mendapat perhatian serius dari pemerintah daerah.

Adi Soenarno, CEO Flores Destination Management Organization dalam wawancara dengan Asiantraveltips.com pada tahun 2012 mengatakan, pemain pariwisata NTT sedang mencari penerbangan langsung ke Flores, tetapi tantangan geografis daerah itu tak sedikit.

Kepala Dinas Pariwisata NTT, Alexander Sena sebagaimana dikutip di Kompas pada Januari 2015 mengatakan, NTT membutuhkan investor untuk membangun industri pariwisata, karena pemerintah propinsi tak mampu mengembangkan infrastruktur publik. NTT butuh ratusan miliar untuk mengembangkan pariwisata.

Namun, pernyataan Sena ini sungguh bertolak belakang dengan realitas di lapangan. Simak pemain pariwisata NTT yang mampu mendatangkan sejumlah hotel internasional.

Sekarang ini ada beberapa hotel internasional di NTT, seperti Swiss-Belinn Kristal Kupang berlokasi di Kupang; T-More Hotel & Lounge; On The Rock Hotel Kupang; Aston Kupang Hotel, Wuwansa Beach Resort anak usaha Sartini Group; Hotel Bintan Flores dan juga Hotel Sylvia.

Jika saja, Pemerintah daerah cerdas, mengapa mereka tak mengajak investor di sektor infrastruktur terlebih dahulu agar bisa menunjang pembangunan pariwisata NTT? Bukankah pembangunan infrastruktur publik itu penting untuk membangun pariwisata yang mumpuni?

Di beberapa kabupaten di Manggarai Raya misalnya, pemerintah daerahnya bebal dan tak mampu membangun infrastruktur dasar, seperti air minum yang bersih. Di Manggarai Barat, Manggarai Timur dan Manggarai misalnya, masih krisis air bersih. Air saja tak bisa dipenuhi Pemda, apalagi membangun fasilitas infrastruktur yang besar? Mau dibawah ke mana pariwisata NTT, jika pemimpinnya tak berpikir besar, tak inovatif dan korup?

Belajarlah dari cara nenek moyang  di Manggarai yang membangun Rumah Adat Wae Rebo. Wae Rebo bukan hanya dinikmati dan menjadi kebanggaan sejarah, tetapi mengajak para pemimpin untuk berpikir besar, seperti arsitek yang ingin menukangi dan membangun NTT menjadi pusat peradaban dunia.

Penulis adalah pemuda dari Manggarai Timur, sekarang peneliti di Indonesia Today, Jakarta.

spot_img

Artikel Terkini