Agust Dapa Loka, Guru yang Terbitkan Antologi Puisi Pasca Amputasi Kaki

Agust Dapa Loka
Agust Dapa Loka

Floresa.co – Tidak ada kata menyerah dalam kamus hidup Agust Dapa Loka, seorang guru SMA di Waingapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Kecelakaan lalu lintas yang menimpanya pada 2009, di mana kaki kanannya kemudian diamputasi, tidak pernah membuatnya putus harapan.

Kala itu, ia menabrak anjing dengan sepeda motor. Akibatnya, kaki kanan mengalam luka serius dan harus diamputasi, sebuah pengalaman yang mengguncangnya, kala itu.

Jika sakit kakinya memuncak, kisahnya, seluruh badannya berkeringat karena menahan perasaan sakit.

“Hanya Tuhan dan saya yang tahu rasanya sakit yang luar biasa ini”, kata Agust, ayah 3 orang anak.

“Tidak ada cara lain selain saya berusaha ‘menikmati’ saja. Jika tidak begitu, saya mau apa?” lanjutnya, retoris.

Di tengah kondisi sulit itu, kendati amputasi itu meninggalkan sakit yang tak kunjung hilang, ia masih punya apa yang namanya optimisme dan merawatnya agar terus mekar.

Kondisi fisik yang terbatas, ternyata kemudian, memicunya untuk mencari cara mengembangkan potensi yang ia miliki. Salah satunya adalah menulis.

Yang ia pikirkan kala itu, adalah bagaimana melihat sisi positif dari pengalaman pahit dalam hidupnya.

Dan kini, berkat ketekunannya, ia telah menghasilkan dua buah buku.

Awal Januari 2015 lalu, ia meluncurkan sebuah antologi puisi berjudul Gemerisik Ilalang Padang Sabana terbitan Altheras Publishing.

Itu karya keduanya, setelah tahun 2011, ia melahirkan novel berjudul Perempuan itu Bermata Saga, yang diterbitkan oleh Elex Media Komputindo (Gramedia Group).

Terbitnya novel tersebut, membuat ia mendapat penghargaan NTT Academia Award di bidang Humaniora setahun kemudian, sebuah penghargaan yang biasa diberikan kepada tokoh-tokoh dari NTT yang punya kontribusi di bidang sosial kemanusiaan.

Mengharukan bahwa Gemerisik Ilalang Padang Sabana ia garap justru di saat frekuensi sakitnya begitu menyiksa.

“Waktu tidur yang tidak bisa saya gunakan karena sangat sulit, justru saya gunakan untuk menulis puisi.” kisahnya.

Dinamika Hidup dan Sumba

gemerisik -
Antologi “Gemerisik Ilalang Padang Sabana”. Kata penantarnya ditulis Menteri Pendidikan, Anies Baswedan

Puisi-puisi Agust mengambil latar belakang dinamika pengalaman hidupnya. Dinamika itu, yang melahirkan berbagai kenyataan, baik yang mengajak kita untuk bergembira dan semangat karenanya. Dan, sebaliknya yang mengajak kita untuk harus bersedih, prihatin dan boleh jadi pesimis.

Dinamika itu, jelas dia,  harus diekspresikan dengan bahasa yang dipahami bukan semata-mata supaya diketahui.

“Melainkan untuk disikapi secara wajar, baik dalam bentuk apresiasi bagi kenyataan yang menggembirakan ataupun dalam bentuk mengambil sikap untuk melakukan perubahan bagi kenyataan yang tidak semestinya menyusahkan.”

Puisi-puisi Agust juga berkisah tentang Sumba, di mana ia melukiskan keperihatiannya pada situasi di salah satu pulau besar di NTT itu.

Salah satu puisi, yang juga kemudian dipilih menjadi judul antologinya, bicara khsusus soal ilalang di tanah Sumba.

“Saya mau mengatakan bahwa Sumba sebagai bagian dari negeri Nusantara ini ibarat ilalang. Tempatnya berada di Nusantara bagian selatan, nyaris tak cukup kuat mendapat perhatian”.

Kendatipun demikian, ia tetap bangga bahwa Sumba sebagai wilayah nusantara yang sah.

“Dan karenanya suara-suara dari sana, sungguhpun sudah agak parau, wajar untuk didengarkan oleh bangsa ini dan harus diperhitungkan sebagai sentuhan untuk direspon secara bermartabat,” jelasnya.

Ia mengaku sepakat bila Sumba disebut sebagai Forgotten Island atau pulau yang terlupakan.

Kalau mau berpikir jujur, Sumba, sebagaimana pulau-pulau kecil lainnya hanya mendapat lirikan sejenak saja”, katanya.

Karena itu, kata dia, rupanya Sumba harus terus “bersuara” agar di tengah hiruk-pikuk mengurus bangsa dan negara ini, para pemangku kebijakan negeri ini memasukkan Sumba dalam hitungan.

Anjing di Senayan

Tak hanya bicara soal dinamika hidup dan kondisi Pulau Sumba, Agust juga menyentil masalah yang dihadapi bangsa Indonesia belakangan ini. Hal itu, misalnya terungkap lewat puisi, Lolong Anjing di Gerbang Senayan.

Ia mengaku, yang mau disampaikan lewat puisi itu adalah keprihatinan atas situasi politik yang dimainkan para anggota legislatif di Senayan, dan tentu saja di semua daerah provinsi/kabupaten-kota.

“Mereka adalah wakil rakyat yang dipandang punya kecerdasan untuk memikirkan, mendiskusikan kepentingan rakyat dengan cara bermartabat,” katanya.

Namun, menurutnya, semua tahu bahwa belum lama ini publik menyaksikan sebuah kemunduran dahsyat para anggota legislatif yang berperang di Senayan.

“Mungkin saja juga sudah, sedang atau akan terjadi di forum DPRD. Secara lantang mereka berbicara mengatasnamakan kepentingan rakyat. Saya melihatnya bukan begitu. Sesungguhnya, mereka menyuarakan kepentingan partai politiknya,” katanya.

“Demokrasi yang telah membesarkan rakyat, dipasung dengan cara kasar bergaya preman. Rakyat jadi bingung”.

Mengapa ia menyebut ada lolongan anjing di Senayan? Kata Agust, dalam kebiasaan masyarakat tradisional,  perilaku alam hewan maupun tetumbuhan bisa mengisyaratkan sesuatu kejadian berbahaya yang bakal menimpa manusia.

“Salah satunya, anjing yang melolong-lolong bisa menjadi isyarat bahwa suatu bahaya akan terjadi,” ungkapnya.

Dalam konteks Indonesia, katanya, dirinya menganggap bakal terjadi manipulasi atas kedaulatan rakyat jika perilaku berpolitik tidak pernah secara berani berubah arah, di mana kepentingan rakyat ditempatkan dalam skala prioritas.

Masih Terus Berjuang

Menulis puisi di tengah kondisi fisik yang sulit, membuat Agust bangga, karena ia mendapat kepuasan bisa membahasakan refleksi atas hidupnya.

Ia pun berharap, minat masyarakat terhadap puisi khususnya dan sastra pada umumnya semakin bergairah.

“Sebab karya sastra pada umumnya memiliki kekuatan dahsyat untuk mengasah nurani hingga lebih peka terhadap dunia yang sedang kita alami”, katanya.

“Kita akan lebih tepat mengambil sikap hasil keputusan  nurani yang populernya disebut suara Tuhan.”

Kini, setelah bukunya terbit, tugas Agust belum selesai. Ia sendiri aktif memasarkan bukunya, tentu tidak hanya agar bisa mendapat dana dari karyanya, tetapi juga agar hasil refleksinya bisa dinikmati lebih banyak orang.

“Benar-benar saya menjual kedua buku itu dari tempat tidur berkat jasa handphone dan internet,” kata alumni Pendidikan Bahasa Indonesia IKIP (kemudian universitas) Sanata Dharma Yogyakarta ini.

Meski dari tempat tidur, kakinya masih saja terus nyeri. “Beliau ini (kakinya-red) tak kompromi. Kalau dia sudah sakit, saya benar-benar tak berkutik,” ujar guru yang pernah divonis menderita infeksi tulang ini.

“Jika ada yang berkenan membeli antologi puisi saya, silakan sms saya atau datang langsung ke toko buku. Benar, dukungan para sahabat sangat membantu dan memberi semangat pada saya,” ujarnya tenang sambil mengeja nomer ponselnya 081339410359 dan 081236197459.

Agust Dapa Loka, sosok yang dikenal keras dan teguh
Agust Dapa Loka, sosok yang dikenal keras dan teguh

Apa yang dilakukan Agust, adalah cerminan dari karakternya sebagai pribadi yang kuat.

Emanuel Dapa Loka, adik kandung Agust yang kini jadi wartawan di Jakarta, mengenal kakaknya itu sebagai orang yang punya ketekunan dan ketangguhan dalam keluarga mereka yang terdiri dari 10 bersaudara.

“Ia sosok yang keras, kritis. Dia melupakan dirinya untuk mengurus adik-adiknya”, kata Eman.

“Karena dialah, juga karena orang tua, kami semua bisa sekolah”, jelasnya.

Tentu, Agust tetaplah seorang guru, yang setiap hari diantar dan dijemput isterinya, Anastasia Talu ke sekolah, yang berjarak 2 km dari rumah mereka. Ia hadir di ruang kelas, dengan kursi roda.

Agust selalu bisa menyediakan waktu untuk menulis, di tengah kesibukannya sebagai guru, profesi yang ia tekuni sejak 1985.

“Bagi saya pekerjaan sebagai guru bukan halangan untuk menulis”, katanya.

Bahkan, menurut dia, sejatinya, menulis adalah bagian terpenting dalam hidup seorang guru, apalagi guru bahasa dan sastra Indonesia.

“Justru sebaliknya saya merasa sangat terlambat memulai kegiatan ini,” katanya.

“Saya ingin menjadikan hasil refleksi itu sebagai bentuk sharing hidup dengan sesama untuk akhirnya secara bersama pula memaknainya melalui cara hidup yang konkret”. (ARL/Floresa)

spot_img

Artikel Terkini