Siapa yang Benar: Gereja atau Novanto?

Baca Juga

Setya Novanto
Setya Novanto

Oleh: ALFRED TUNAME

Lanskap politik politisi Setya Novanto rasa-rasanya kian melebar. Dengan basis konstituen Nusa Tenggara Timur (NTT), Novanto beberapa kali melenggang bebas di Senayan. Ia berhasil menjadi Anggota Dewan Perwakilan Repubik Indonesia (DPR RI) dengan kendaraan Partai Golkar.

Kini ia menjadi ketua DPR RI periode 2014-2019. Masyarakat NTT cukup berbangga untuk ini, sebab salah satu wakilnya memiliki posisi yang hegemonik di Sanayan.

Harapan masyarakat NTT kepada Novanto tentu sangat tinggi pula. Melalui wakilnya di Senayan, nasib masyarakat NTT bisa menjadi lebih baik. Setidaknya, suara-suara masyarakat NTT juga didengar, berikut kebijakan-kebijakan pemerintah pusat bisa sampai juga ke NTT.

Harapan masyarakat NTT di pundak Novanto (dan wakil rakyat dapil NTT lainnya) adalah kesejahteraan, kesejahteraan dan kesejahteraan.

Kesejahteraan datang dari niat baik para politisi. Seorang politisi seharusnya dekat dengan rakyat, sehingga bisa mendengarkan aspirasi rakyat. Seorang politisi seharusnya memahami kondisi riil masyarakat bawah (grassroot).  Seorang politisi selalu mengerti kebutuhan utama yang dikehendaki rakyat.

Dengan begitu, seorang politisi mampu merumuskan kerangka persoalan di masyarakat dan bisa merumuskan (dan mempengaruhi) kebijakan publik. Bene diagnostur, bene curator. Tentu, diagnosa yang baik akan diobati dengan baik pula.

Tetapi diagnosa yang baik membutuhkan perangkat lunak yang baik: rasionalitas politik dan moral-etika politik. Perangkat lunak inilah yang menjamin integritas politik seorang politisi. Ketika integritas politik berpadu bersama kompetensi dan dukungan konstituen, seorang politisi akan lebih mudah mengurai persoalan dan mendapat simpati dan apresiasi masyarakat. Tetapi akan menjadi persoalan apabila seorang politisi memiliki semuanya, tetapi integritas politiknya buruk. Di sinilah awal petaka seorang politisi.

Petaka politisi Setya Novanto datang dari pernyataannya sendiri ketika ia berbicara soal tambang di NTT. Ia menuding Gereja sebagai motor penggerak elemen anti tambang untuk menghadang investor tambang di NTT. Novanto de sont tort (karena ulahnya sendiri), ia mendapat kecaman dari berbagai elemen anti tambang. Reaksi keras tentu datang dari Gereja yang menjadi subjek dalam celoteh politisi Golkar tersebut.

Ada perbedaan perspektif antara Gereja dan Novanto dalam menyikapi persoalan tambang di NTT. Novanto menggunakan perspektif ekonomi utilitarian, dimana sumber daya mineral perlu dimanfaatkan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi NTT. Tambang dilihat sebagai salah satu sumber daya ekonomi yang menguntungkan dan memiliki nilai tambah (value added) sebagai sumber tambahan pendapatan asli daerah (PAD).

Protes Gereja dan elemen anti tambang berjalan dalam koridor etos profetis yang mengoreksi setiap kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat. Kebijakan ekonomi progresif seharusnya mengangkat derajat dan martabat rakyat. Karenanya, Gereja dan segenap elemen anti tambang melihat sektor tambang justru tidak memberikan nilai tambah yang signifikan bagi pendapatan daerah, khususnya dalam konteks NTT.

Eksplorasi dan ekspoitasi tambang di NTT hanya justru menghambat dan menghancurkan sektor pertanian yang masih menjadi primadona pendapatan rakyat dan daerah an sich.

Mayoritas masyarakat petani di NTT akan semakin tersiksa dan sengsara oleh hadirnya tambang di daerah mereka. Sebab, tambang tidak saja merusak areal pertanian mereka, tetapi juga merusak seluruh keseimbangan kosmis-ekologis yang dibangun dalam tradisi dan kearifan lokal.

Tetapi politisi Novanto tidak berhasil memahami akar persoalan penolakan tambang ini. Akibatnya, ia dianggap telah gagal mewakili rakyat NTT sebagai anggota dewan. Kritiknya terhadap Gereja dan elemen anti tambang menimbulkan gelombang antipati. Kecurigaan pun menghinggapi publik akan sepak terjang Novanto di NTT. Kecurigaan ini berangkat dari gurita bisnis yang dimilikinya.

Boleh jadi, NTT adalah ladang “tambang” kekayaan Novanto dengan jabatan politik sebagai kuda Troya-nya.

Tampaknya, Novanto lebih paham demokrasi neoliberal ketimbang demokrasi Pancasila. Demokrasi Pancasila menggarisbawahi ekonomi kerakyataan; sementara ekonomi neoliberal lebih mengedepankan kelimpahan keuntungan dengan sektor privat sebagai motor. Di sini, good government is less government. Pada aras neoliberal ini, determinasi pemerintah dan elemen pro demokrasi direduksi sehingga tidak menganggu geliat dinamika ekonomi privat. Karenanya, bagi Novanto, pembangunan NTT telah gagal karena sektor ekonomi privat telah dihambat.

Dengan modal finansial dan politiknya, Novanto boleh jadi sudah dengan mudah mengontrol dan mempengaruhi penguasa politik lokal. Tetapi, elemen pro demokrasi yang ada di masyarakat tidak berhasil dikuasai. Elemen pro demokrasi pun menjadi momok pembangunan NTT, menurut Novanto.

Manakala pembangunan adalah sarana mendorong transformasi struktural dan kualitas kehidupan, maka Novanto justru gagal menggodok perspektif tentang pembangunan. Peraih Nobel ekonomi  tahun 1998, Amartya Sen, pernah menulis tesis tentang demokrasi dan pembagunan. Baginya, development as a process of expanding the real freedoms that people enjoy. Untuk itu, rakyat butuh akses. Bagi Sen, aksesibilitas itu adalah terfasilitasinya kebebasan politik, kesempatan sosial dan ekonomi serta transparansi. Di sinilah, demokrasi ekonomi tegak berdiri. Pembangunan NTT membutuhkan demokrasi.

Tetapi, bagaimana mungkin pembangunan NTT akan berhasil dan “people will enjoy” jika akses hanya dimiliki oleh segelintir orang? Novanto seharusnya melihat bahwa kemiskinan dan kesengsaraan masyarakat NTT disebabkan oleh ketiadaan akses.

Akses itu hanya dimiliki (dan didominasi) sekelompok elite politik dan ekonomi, termasuk dirinya. Sementara kebebasan berekspresi dikebiri, buruknya prinsip transparansi kebijakan publik dan rendahnya kualitas pelayanan publik, ekses terhadap sumber-sumber ekonomi di NTT malah telah dikuasai oleh segelintir orang. Dan ketika rakyat NTT memanggang punggung untuk mengolah tanah pertanian, elite politiknya malah merusaknya dengan mengizinkan tambang.

Akhirnya, mari kita sepakat dengan teman-teman Formada NTT, bahwa NTT tidak gagal, justru Novanto-lah yang gagal menjalankan tugasnya sebagai wakil rakyat NTT di DPR RI. Di sini, integritas politik seorang Setya Novanto patut dipertanyakan lagi.

Penulis adalah pemerhati isu-isu sosial politik di NTT.

Terkini