Setya Novanto dan Gereja NTT

Setya Novanto
Setya Novanto

Oleh: IGO HALIMAKING

Tulisan ini berangkat dari keprihatinan penulis terhadap pernyataan yang dilontarkan Ketua DPR RI, Setya Novanto. Ia mengatakan bahwa kegagalan NTT adalah akibat darimenolak kehadiran investor di bidang pertambangan. Penolakan itu dilakukan oleh LSM dan Gereja.  Tudingan ini dilontarkan saat didaulat menjadi pembicara dalam seminar yang digelar Gereja Kristen di Kupang, Kamis (26/2/2015).

Pernyataan Setya Novanto menujukkan ia tidak memahami kondisi real di NTT dan alasan mengapa gereja dan LSM menolak tambang.

Dalam kenyataan, pertambangan selama ini selalu beriringan dengan sejumlahkenyataan negatif. Selama ini Gereja dan LSM menolak tambang karena alasan-alasan demikian.

Pertama, alasan ekologis. Pertambangan yang selama ini beroperasi di sejumlah wilayah terbukti telah membawa kerusakan terhadap lingkungan dalam skala yang besar. Hal ini menyangkut kerusakan terhadap tanah,  ekosistem hutan, tercemarnya air, hilangnya sumber mata air, rusaknya ekosistem sekitar lokasi tambang, terutama laut yang menjadi tempat pembuangan limbah dan efek bahan-bahan peledak yang dipakai. Selain itu, menyusul pula akibat-akibat lain, seperti banjir, longsor, kemarau panjang, dan kebakaran hutan.

Kedua: alasan kesehatan. Kehadiran pertambangan justru menjadi cerita pilu bagi masyarakat, terutama warga yang ada di sekitar lokasi pertambangan. Debu-debu mangan menyebar ke mana-mana, hingga menutupi rumah, tanaman, dan mencemari air minum warga. Bahkan, ada beberapa kejadian kematian warga yang disinyalir karena pencemaran debu mangan, terutama karena menyerang saluran pernapasan.

Ketiga: dampak sosial-budaya. Kehadiran pertambangan terbukti menimbulkan konflik horizontal di antara masyarakat, maupun konflik vertikal antara masyarakat dengan pemerintah setempat, dan juga kemungkinan konflik antara masyarakat lokasi tambang dengan pihak perusahaan, atau juga antara pihak perusahaan dengan karyawan. Selain itu, ada soal sosial besar lain yang muncul secara nyata dari industri pertambangan, yakni eksploitasi buruh secara besar-besaran.

Tidak diragukan lagi bahwa praktik ketidakadilan terjadi di lokasi tambang. Para buruh dan karyawan kerapkali diperlakukan secara tidak layak. Misalnya, peralatan kerja (seperti masker dan sepatu) tidak disediakan oleh pihak perusahaan, padahal ini sangat riskan bagi kesehatan mereka.

 Keempat: alasan ekonomi. Dari segi ekonomi, hadirnya industri pertambangan ternyata tidak membawa perubahan apa-apa bagi keadaan ekonomi masyarakat. Sebab, pertambangan tidak banyak menyerap tenaga kerja lokal. Bahkan, upah para buruh pun (yang kebanyakan orang-orang lokal) tidak mencukupi kebutuhan keluarganya. Jadi, secara ekonomis, pertambangan (khususnya di Kabupaten Manggarai) tidak memberikan keuntungan, tetapi malah membawa kerugian yang tidak sedikit.

Selain itu ada berbagai pelanggaran HAM dalam tambang NTT. Pertama: pertambangan merenggut hak-hak penduduk lokal. Sebagai contoh: di Kabupaten Manggarai, Manggarai Barat dan Manggarai Timur, sekitar 22 perusahan pertambangan melakukan aksi pertambangan. Di sana juga terdapat 20 izin kuasa pertambangan yang aktif, mencakup 12 izin eksplorasi, izin persiapan eksploitasi, 3 izin eksploitasi dan 4 izin usaha pertambangan (penjualan dan pengangkutan). Terlepas dari syarat legal – formal yang terpenuhi, sebuah kenyataan yang terjadi bahwa lokasi pertambangan itu sebagian besar terletak di lokasi tanah pertanian dan perkebunan masyarakat, sejumlah kawasan hutan desa, hutan lindung, daerah pesisir pantai serta tanah-tanah adat.

Pertambangan di daerah seperti ini berimplikasi pada hilangnya hak ekonomi masyarakat terhadap sumber-sumber penghidupan (lenyapnya berbagai jenis tanaman komoditi dan lahan-lahan garapan masyarakat).

Kedua, pertambangan mengangkangi substansi demokrasi. Esensi demokrasi itu sendiri adalah rakyat harus dilibatkan dalam setiap kegiatan pengambilan keputusan secara bebas, tanpa paksaan. Berdasarkan hal ini, eksplorasi dan eksploitasi tambang di NTT kerap diwarnai pembohongan seperti rencana pertambangan marmer di daerah garapan masyarakat Tiwutora, Desa Ondorea, Kecamatan Nangapanda, Kabupaten Ende, pertambangan mangan di desa Oenbit, Kecamatan Insana, Kabupaten TTU di mana rakyat sama sekali tidak dilibatkan dalam proses sosialisasi.

Ketiga, di wilayah yang sudah dieksploitasi terjadi eksploitasi terhadap para buruh oleh perusahaan. Perusahaan memperkerjakan buruh dengan jam kerja yang melampaui jam kerja buruh (di atas 8 jam sehari), juga sistem penggajian yang tidak sesuai dengan upah minimum pekerja.

Keempat, pertambangan mencabut hak masyarakat untuk hidup tentram dan damai. Sebagai Hak Asasi Manusia, hak untuk hidup aman dan tentram di atas dunia mensyaratkan terpenuhinya sejumlah kebutuhan masyarakat (syarat minimum) termasuk lingkungan hidup yang bersih dan kondusif. Belakangan ini, perlindungan terhadap lingkungan alam telah mulai diperhitungkan sebagai jaminan hidup bagi martabat manusia. Kita tidak dapat berbicara tentang pemenuhan HAM dengan mengorbankan alam dan semua makhluk hidup lain. Ketika pemerintah mengabaikan kesejahteraan masyarakat lewat praktik KKN, pembiaran terhadap aktivitas pertmbangan yang eksploitatif dan destruktif semakin memperjelas praktik penistaan pemerintah terhadap hak-hak asasi masyarakat.

Dalam kegamangan situasi dan kondisi seperti ini, Gereja hadir dan  mengumandangkan seruan profetiknya sekaligus tindakan nyata melawan segala bentuk praktik ketidakadilan dalam kehidupan. Gereja menyuarakan sikap menolak tambang. Keterlibatan gereja menyoraki tambang ini memiliki tujuan mendasar yakni pada keselamatan universal seluruh ciptaan. Dengan demikian, Gereja turut meyakinkan masyarakat bahwa pertambangan bukan merupakan berkah bagi masyarakat NTT, tetapi sebuah kutukan yang mampu mematikan kehidupan masyarakat.

Alasan mendasarnya lainnya bahwa setiap pelayanan pastoral Gereja berusaha menjawab persoalan-persoalan umat yang aktual. Pertambangan juga menjadi pokok perhatian kegiatan pastoral Gereja karena masalah pertambangan merupakan problem yang dihadapi umat. Hal ini beralasan karena penguasa yang adalah representasi rakyat tidak terbukti membela hak rakyat dengan segala kegelisahannya. Para investor yang diharapkan dapat memajukan kehidupan perekenomian dan kesejahteraan para warga di sekitar lokasi yang diinvestasi juga tidak menampakkan keberpihakannya. Para penguasa dan para investor semakin menumbuhkan jurang perbedaan dan menabur konflik.

Dalam kaitannya dengan pertambangan di NTT, banyak ditemukan sejumlah tindakan penipuan, manipulasi, penghancuran yang masif terhadap alam, pengerukkan sumber daya alam secara besar-besaran, penggusuran komunitas lokal dan berbagai ketimpangan lainnya. Ketimpangan-ketimpangan tersebut disebabkan oleh manipulasi dari para investor  dan penguasa birokrasi (pemerintah), legislatif dan pihak keamanan.

Di tengah kegamangan dunia seperti ini, Gereja menunjukkan keberpihakannya kepada golongan atau kelompok yang menderita. Umat Allah sebagai pihak yang dikorbankan adalah manusia yang juga merupakan bagian dari keseluruhan kosmos. Dengan kata lain, perhatian terhadap persoalan tambang memang menjadi bagian dari pelayanan pastoral karena konteks  pelayanan pastoral adalah penyelamatan universal; penyelamatan seluruh ciptaan yakni manusia dan alam.

Melihat dampak-dampak yang ditimbulkan dari industri pertambangan, kita bisa mengatakan bahwa kebijakan pertambangan sebetulnya bukan membawa berkat (kesejahteraan dan kemakmuran), melainkan membawa kutukan (kehancuran, kemiskinan, dan penyakit) bagi masyarakat. Oleh karena itu, amatlah tepat dan bijak jika pemerintah mulai mempertimbangkan kembali seluruh kebijakan pembangunan yang tidak berpihak pada kehidupan. Pemerintah perlu mengevaluasi kembali kebijakan pertambangan yang ternyata lebih banyak merugikan masyarakat (yang menjadi tujuan dan sasaran pembangunan) serta lingkungan hidup, daripada kesejahteraan yang dijanjikan. Jika kita menginginkan kesejahteraan, maka tambang bukanlah pilihan yang tepat, strategis, dan bijaksana.

Gereja sebagai perintis tolak tambang tentu perlu diikuti oleh usaha semua elemen untuk memperlihatkan bahwa NTT masih bisa mengembangkan potensi-potensi lain. Hanya, selama ini kita belum bekerja optimal. Karena itu, tambang hanyalah solusi bagi mereka yang berpikir pragmatis dan oportunis. Potensi yang dimiliki NTT sebenarnya cukup. Sekali lagi, sikap yang dibutuhkan adalah pelaksanaan program-program yang berspirit pemberdayaan masyarakat, sehingga hasilnya berlaku dalam jangka panjang, juga reformasi birokrasi, pemberantasan korupsi, sehingga dana yang diperuntukkan bagi optimalisasi potensi-potensi daerah betul-betul sampai di tangan masyarakat.

Dan, tidak kalah pentingnya adalah bekerja serius, berpikir serius untuk NTT. Tambang tetap bukan solusi. Ketika menerima tambang, kita sebenarnya sedang bergerak mendekati pintu kehancuran dan krisis yang keparahannya melebihi apa yang kita alami sekarang. Kita tetap mengharapkan lahirnya gagasan cerdas yang diikuti aksi nyata dari pemerintah, LSM dan Gereja di NTT. Lembaga-lembaga penelitian di bidang pertanian, peternakan, perikanan dan kelautan perlu berusaha melahirkan inovasi baru demi optimalisasi potensi-potensi ekonomi masyarakat.

Di balik kritik Setya Novanto

Menarik untuk disimak pernyataan yang dilontarkan Ketua DPR RI, Setya Novanto, saat didaulat menjadi pembicara dalam seminar yang digelar Gereja Kristen di Kupang, Kamis (26/2/2015). Menurut Novanto, investor sangat sulit datang ke NTT untuk berinvestasi menanamkan modalnya karena Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang ada sangat kritis menolak dan mendapat dukungan gereja.

Pernyataan itu, selain mungkin digerakkan oleh niatnya memajukan NTT, dimana ia menyebut NTT kaya akan Sumber Daya Alam (SDA) namun tidak dioptimalkan, juga mesti dikaji secara kritis. Tentu saja, hal yang lumrah dalam dunia politik, bahwa ketika seorang politisi berbicara, mempertanyakan maksud di balik pernyataan mereka adalah sebuah keharusan. Selalu “ada udang di balik batu” adalah adagium yang mesti selalu dipakai untuk mencermati ucapan semua politisi.

Dalam persoalan ini jika diselidiki lebih jauh ternyata ada hubungan dengan kepemilikan perusahan tambang setya Novanto di NTT. Ada banyak kabar burung, yang menyebut  Setya Novanto berada di balik sejumlah perusahan tambang di NTT.  Setya Novanto memang ramai dibicarakan pada 2013 lalu, terkait hubungannnya dengan perusahan tambang pasir besi PT Laki Tangguh yang masuk ke Riung, Kabupaten Ngada . Selain kasus tambang, Setya Novanto selama ini disebut-sebut sebagai pemilik PT Sarana Investama Manggabar (PT SIM), perusahan yang pada 2013 sudah mengantongi Nota Kesepahaman (MoU) dengan Pemprov NTT untuk membangun hotel di Pantai Pede, Labuan Bajo, Manggarai Barat, sebuah polemik yang terus memantik perlawanan masyarakat di Labuan Bajo.

Dalam konteks itulah, tentu pernyataan Setya Novanto dibaca bahwa ada maksud terselubung dibalik kritikannya terhadap Gereja dan LSM.  Dan hemat penulis pernyataan Novanto sebagai bentuk sesat pikir seorang wakil rakyat yang tidak paham akan peran dan fungsi Gereja di NTT.  Mestinya sebagai wakil rakyat, Novanto paham bahwa salah satu peran dan fungsi Gereja adalah menyuarakan suara kenabian, mengkritisi setiap kebijakan publik yang tidak berpihak bahkan merusak masyarakat dan ruang hidupnya.

Akhirnya, jika sebagai wakil rakyat tidak bisa memahami mengapa suara ‘nyanyian’ tolak tambang di NTT semakin nyaring terdengar dari masyarakat sipil,Mahasiswa, LSM juga para hirarki gereja dan para imam, maka semoga setelah membaca pemikiran sederhanaini Setya Novanto bisa memahami alasan mendasar penolakan tambang di NTT.

Penulis adalah anggota PMKRI Cabang Kupang

spot_img

Artikel Terkini