Ibu Enik dan RSUD Ruteng

Enik Nangge (44) didampingi suaminya di rumah keluarga usai dioperasi di RSUD Ruteng (Foto:Ardy Abba)
Enik Nangge (44) didampingi suaminya di rumah keluarga usai dioperasi di RSUD Ruteng (Foto:Ardy Abba)

Oleh: GORDI AFRI

Miris rasanya membaca berita tentang Ibu Enik Nangge (44 tahun). Dia dioperasi di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Ruteng, Manggarai, Flores, NTT. Sayangnya, operasi itu tidak sampai selesai. Meski tidak selesai, RSUD tetap meminta ganti rugi atas operasi yang berjalan setengah itu.

Malang bertambah karena dia dianjurkan untuk operasi lanjut di Makasar atau di Bali. Ibu Enik seperti pemeran pepatah, sudah jatuh, lalu tertimpa tangga. Belum selesai operasi, diminta bayaran, lalu dianjurkan melanjutkan beroperasi di tempat lain.

Ibu Enik kiranya bukan orang pertama. Boleh jadi ada pasien lain yang mengalami nasib sama. Kisah Ibu Enik hanyalah pembuka jalan untuk pasien lainnya. Pasien memang berhak mendapat pelayanan yang baik dari pihak rumah sakit. Tentu, selain hak mendapat pelayanan, pasien juga berkewajiban membayar biaya. Di sini ada relasi pasien-rumah sakit. Ada hak dan kewajiban.

Pihak rumah sakit semestinya menjadi rumah yang nyaman bagi pasein. Misi rumah sakit kiranya sudah jelas, melayani pasien. Dalam kasus Ibu Enik, rumah sakit sudah bertindak dan mengarah pada misinya. Sayang, misinya tidak tuntas. Malah, boleh dibilang, misi RSUD Ruteng gagal. Selain gagal, pelayan RSUD juga mengecewakan dan membebani pasien. Ibu Enik dan keluarga sudah dibebani penyakit kista. Beban itu bertambah lagi dengan biaya yang diminta pihak rumah sakit. Tambah lagi jika jadi dioperasi di luar daerah.

Beban Ibu Enik mesti diringankan. Sayang jika dia dan keluarga dibiarkan menderita karenan banyaknya beban. Salah satu yang bisa dibuat adalah mengoptimalkan pelayanan RSUD Ruteng. Kehadiran RSUD ini tentu menjadi harapan terbesar masyarakat Manggarai. Bahkan, juga masyarakat di dua kabupaten tetangga, Manggarai Barat dan Manggarai Timur. Sejauh ini, RSUD Ruteng adalah andalan utama masyarakat. Di Labuan Bajo dan Borong kiranya fasilitas kesehatan belum selengkap RSUD Ruteng. Tentu di Cancar juga ada RS St Rafael. Tetapi, di sana juga butuh biaya yang kiranya lebih mahal karena statusnya sebagai lembaga swasta.

Pemerintah kiranya tidak keliru membangun RSUD Ruteng. Berada di tengah, antara barat dan timur. Berada di jantung ibu kota kabupaten. Bisa didatangi pasien dari seluruh Manggarai. Sayang jika tujuan awal ini tidak diwujudkan dalam pelayanan RSUD Ruteng. Pelayan kesehatan—dokter dan perawat atau bidan—RSUD dalam hal ini mesti didesak untuk mewujudkan tujuan ini. Tidak semua pelayan kiranya menghendaki kejadian ini. Masih ada pelayan rumah sakit yang mau melayani sampai tuntas. Rakyat—seperti pelayan rumah sakit—juga ingin mendapat pelayanan yang baik. Dan ini tugas para pelayan.

Tugas ini mulia sekaligus menuntut kerja keras. Di desa-desa, rakyat mulai senang dengan kehadiran bidan desa (bides). Bides ini menjadi ‘dokter pertama’ yang menghadapi pasien di kampung-kampung. Banyak cerita betapa mulianya tugas para bides ini. Banyak di antara mereka menjadi anak kesayangan segenap warga kampung. Sebutan ini muncul karena keterlibatan mereka dalam kehidupan masyarakat. Meski demikian, banyak juga cerita tentang bides yang lari meninggalkan tugasnya. Dia tidak merasa betah di tempat tugasnya yang kadang membuatnya merasa sepi dan terisolasi. Dalam hal ini, bides boleh dibilang gagal dalam membawa misinya melayani masyakarat.

Kisah bides sukses dan bides gagal bukan saja milik para bidan dan perawat. Dokter juga ada yang sukses dan gagal. Gagal dalam mengemban tugasnya. Gagal karena meninggalkan tugasnya. Gagal karena melaksanakan tugas setengah-setengah. Hasilnya seperti yang dialami Ibu Enik. Dan, Ibu Enik tidak sendiri. Banyak pasien seperti Ibu Enik. Ada yang batal dioperasi, tunda diobati, gara-gara dokter sedang ke kota. Mestinya dokter tahu, tugasnya adalah melayani pasien. Dan, pasien mestinya diberitahu, jika dokter tidak bisa melayani, diberitahu datanya. Diberitahu juga jika tidak bisa dioperasi, entah itu karena kurang saranan atau kurang tenaga kesehatan.

Rakyat juga butuh pelayanan yang baik. Jangan biarkan mereka menderita karena pelayanan yang buruk. Jangan biarkan pasien berikutnya menjadi Ibu Enik yang kedua dan seterusnya. Biarkan pengalaman Ibu Enik menjadi pertama dan terakhir. Jangan biarkan pasien dari seluruh Manggarai keluar kota untuk mengontrol kesehatannya. Kalau bisa diatasi di Manggarai, layanilah di Manggarai. Biarkan penyakit berat saja, yang tidak bisa diatasi di RSUD Ruteng,  dirujuk keluar kota. Tugas pemerintah kabupaten serta rakyat Manggarai untuk mewujudkan RSUD Ruteng sebagai pusat pelayanan kesehatan yang nyaman bagi para pasien.

Penulis adalah Alumnus SMAK Loyola Labuan Bajo dan STF Driyarkara Jakarta.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini