[Cerpen] Rindu Kopi Kiriman Ayah

kopiOleh: GREGORIUS AFIOMA

Tidak seperti hari biasanya, sekarang tepung kopi yang ditaruh dalam toples kaca ini hanya menjadi barang tontonan. Banyaknya tidak seberapa lagi. Tinggal seruas ujung jari telunjuk tingginya dari pantat toples kaca. Dan kali ini,demi menyisakan harapan, aku enggan menghabisinya walau kantuk menyerang dengan hebatnya.

“Barangkali ini kiriman yang terakhir dari kami” begitu suara ayah terdengar berat dari ujung telpon beberapa hari yang lalu.

“Kenapa?” tanyaku yang masih tercekat kebingungan. Ia segera mengalihkan topik pembicaraan. Aku gagal mendesakknya tatkala telpon segera berakhir.

Setelah tiap awal bulan selama empat tahun terakhir, itu kali pertama ayah berujar demikian. Biasanya di awal bulan, dua plastik besar kopi yang terbungkus dalam kertas Koran diantar pak Pos ke alamat tempat tinggalku. Di depan kos di sebuah gang sempit di sebuah sudut kota Jakarta, tersenyum lebar seraya memberikan kepadaku, Pak pos sering berkata, “Dik, aroma kopinya sangat tajam.”

Beberapa kali, hampir saja aku secepat kilat membuka bungkusan itu dan berbagi dengannya agar ia menikmati kopi kiriman ayah, tetapi dengan tangkas pula ia menangkap gelagatku.

“Sudahlah dik. Kalau aku kebagian, nanti tak cukup buatmu untuk sebulan.” katanya menolak.

Barangkali Pak pos tahu bahwa kopi kiriman itu bukanlah kopi biasa dan itu satu-satunya kopi yang aku dapat minum. Walau tak dikemas semenarik kopi-kopi instant di warung-warung, kopi itu punya rasa yang khas. Nikmatnya tak pernah bisa dibandingkan. Bagi para penikmat kopi di belahan manapun di dunia ini mungkin akan kebingungan ketika mengetahui bahwa kopi itu tak perlu dicampur dengan gula dan susu supaya disebut three in one, atau dicampur dengan apapun supaya bisa disebut terasa mocca dan cappuccino. Kopi dari rumah justru lebih nikmat jika tak dicampur gula atau apapun. Hanya kopi yang dimasukkan ke dalam air yang dimasak.

Tiap bangun pagi, setelah mandi dan menyiapkan buku untuk kuliah, ada yang masih kurang kalau belum menyeruput kopi. Setelah ritual wajib itu, langkah kaki menjadi lebih bersemangat ke kampus. Efeknya hingga di kelas. Di kala teman-teman harus tertunduk lunglai karena ngantuk, tengkukku masih tegar dan tegap. Lalu seringkali dosen selalu memperhatikanku lantaran kalaupun ia tahu aku tak sepintar yang lain, ia pun ingin didengar dengan penuh hasrat. Hanya aku yang bisa berbuat demikian.

Tentu saja alasannya bukan semata-mata karena pengaruh kandungan caffeine yang terlampau kuat. Toh, teman-teman juga selalu meminum kopi tiap paginya sebelum berangkat kuliah. Entah kenapa, tiap kali merasa ngantuk, aku teringat pada ayah yang tiap hari memanjat kopi di kebun, mama yang mulai menjemurnya di halaman depan rumah, dan adik-adik yang selalu membawa ke tempat penggilingan. Lalu mereka menaruhnya di dalam plastik dan bersusah payah menunggu kendaraan di pagi-pagi buta demi mengantarnya ke kota dimana kantor pos berada.

Bahkan, uang bulanan boleh menjadi lebih atau kurang, tetapi kopi tetap dengan kuantitas yang sama tiap bulan. Selalu ada dua bungkusan besar.

“Pa, kenapa uang saku bulan ini bertambah?” tanyaku dengan perasaan senang.

“Kebetulan kopi kali ini berbuah lebih banyak.” Saya tertawa kecil. Dia melanjutkan, “apakah kopi kiriman bulan ini sudah diterima?”

“Sudah”

Lalu kalau uang bulanan berkurang, aku tak perlu mempersoalkannya, asalkan kiriman kopi selalu ada. Tanpa ditanyapun, aku tahu kalau buah kopi dalam bulan-bulan tertentu tak terlalu rimbun dan banyak. Ada kalanya menjadi sedikit sehingga keluarga kami yang menjadikan kopi sebagai tulang punggung ekonomi harus lebih banyak bersabar saja. Namun dengan adanya kopi di kamar kos, hari-hari merasa terbantu. Meneguk segelas kopi rasanya hampir serupa telah mengunyah tiga atau empat senduk nasi. Jika merasa kenyang, makan sekali sehari saja sudah bisa bertahan. Dulu ketika di rumah, aku juga melihat hal serupa terjadi pada ayah. Tiap pagi ia hanya minum kopi dan membawa satu cerek ke kebun, lalu bekerja di bawah terik yang sangat menyengat kulit. Ketika haus, ia pun menegak sepuasnya.

****

Semenjak ayah berniat tak lagi mengirimkan kopi, perasaanku semakin berkecamuk.  Seribu satu kemungkinan terpikirkan ketika ayah hanya diam tak menguraikan alasannya.

Aku menjadi takut bahwa aku bisa saja tak begitu lagi berkonsentrasi di dalam kelas. Sebagaimana teman-teman yang selalu menunduk dan tertidur, begitulah aku jadinya, pikirku. Begadang untuk mengerjakan tugas kalau tak ditemani kopi rasanya tak semangat. Tugas-tugas yang menumpuk bisa ditelantarkan.Kalaupun uang bulanan semakin ditambah dengan tak dikirimnya kopi, tak pernah mengurangi rasa penasaranku. Keresahan semakin memuncak. Bukan perkara uang tentunya. Uang bisa didapat darimana saja, entah dengan meminjam dari tetangga atau kredit di bank, tetapi kopi yang selalu kuminum hanya berasal dari kebun.

“Pa, aku tidak bisa belajar tanpa minum kopi dari rumah?” kataku.

“Itu hanya soal kebiasaan nak. Coba mulai membiasakan lidahmu dengan rasa kopi-kopi di sana. Bukankah di sana ada banyak jenis kopi dan rasa yang berbeda?”

Aku mengalah dan tak memaksa. Yang jelas, aku kian patah semangat. Banyak tugas yang sudah menumpuk tak dikerjakan. Beberapa kali aku lebih memilih absen daripada menghadiri kuliah. Jika ada teman yang mengajakku jalan-jalan untuk bermain game atau sekadar nongkrong, aku lebih mudah mengiyakannya.

Untung saja aku tak menyudahi semua tepung kopi di toples. Sehingga ketika aku hampir benar-benar putus asa, aku menatapnya dengan penuh hasrat dan keinginan menggebu-gebu bahwa suatu saat pak Pos akan datang lagi. Ada harapan yang tersisa yakni semua akan kembali seperti semula.

****

Hari-hari selanjutnya, percakapan aku dan ayah berlangsung datar. Sebanyak dan seluas apapun topik pembicaraan, ada satu hukum yang begitu saja kami berdua taati yakni tak boleh membicarakan kopi lagi.  Aku tak bisa lagi menyentil dan menyampaikan lagi rinduku pada aroma kopi. Pun ayah enggan membicarakan tentang kebun kopinya. Yang diceritakannya tentang sekolahku yang harus tuntas biar aku bisa segera menyokong adik-adikku.

Walaupun hatiku bertambah gelisah, apalagi sudah beberapa kali aku membaca dalam surat kabar tentang konflik pertanahan di kampungku, aku tetap saja enggan untuk bertanya kepadanya. Di atas tanah yang hampir sebagian besar penduduk di kampung telah tanami kopi dan telah dipanen selama bertahun-tahun diklaim sebagai wilayah hutan lindung. Beberapa kali nomor undang-undang menghiasi halaman surat kabar demi menyalahkan semua tindakan orang-orang kampung.

Suatu pagi yang cerah, ketika ponsel bergetar dan tertera nama ayah sebagai penelpon, terlintas keinginan untuk menanyakan tentang perkara itu.

“Ini dengan mama” jawab mama spontan tatkala aku kira ayah yang menelpon.

“Ayah dimana?”

“Kamu segera pulang ke rumah. Ayah lagi sakit keras.” jelas mama singkat dan tampak tergesa-gesa.

Dari informasi itulah, aku segera pulang ke rumah. Dan bukan ayah yang sedang tergolek lemah di atas tempat tidur dan siap diantar ke rumah sakit yang kutemukan, tetapi ayah yang sudah diselimuti kain kafan. Bekas luka-luka tertembus peluru di beberapa bagian tubuhnya tampak jelas setelah mayatnya dimandikan. Ia tertembak polisi saat hendak menyerang para petugas yang hendak memotong semua pohon kopi milik kami.

 

spot_img

Artikel Terkini