Korupsi Rokatenda: Karut-marut Korupsi Relokasi ke Pulau Besar (4)

Artikel ini yang ditulis oleh Eman Embu, Staf Puslit Candraditya, Maumere, Kabupaten Sikka merupakan hasil investigasi dan riset terhadap kasus korupsi dana bencana untuk pengungsi akibat letusan Gunung Rokatenda. Ini merupakan bagian keempat dari enam tulisan.

Floresa.co – Kepala Pelaksana BPBD Kabupaten Sikka, Silvanus M. Tibo menyampaikan dalam rapat dengar pendapat dengan DPRD II Sikka tanggal 18 September 2014 bahwa total Dana Relokasi di Pulau Besar sebesar Rp 6.400.000.000.

Sejak bulan Januari 2014, BPBD Sikka mulai membangun 150 unit rumah tipe 30 M2 Panggung, dengan biaya perunit Rp 20.000.000 di Pulau Besar. Jadi, total anggaran untuk pembangunan 150 unit rumah tersebut Rp 3.000.000.000. Dengan demikian, masih ada dana Rp 3.400.000.000 yang tidak jelas penggunaannya.

Setelah berjalan lebih dari satu tahun, sangat mencengangkan bahwa belum sampai sepertiga dari  150 unit rumah untuk pengungsi tersebut siap pakai. Per 10 Januari sudah ada 35 keluarga pengungsi pindah ke Pulau Besar, tetapi baru 33 rumah yang sudah lengkap dan  dihuni, 7 unit lainnya sudah dibangun, tapi tak punya dapur, tangga, dan fasilitas MCK. Sekitar 20an rumah sedang dalam proses pembangunan. Di antaranya ada yang baru pada tahap pemasangan umpak beton penyanggah.

Dari biaya per unit Rp 20.000.000 tadi dihitung biaya transportasi per unit Rp. 2.000.000. Jadi, total biaya transportasi untuk 150 unit rumah = Rp 300.000.000. Perhitungan biaya angkut per unit yang sangat mahal seperti ini patut dipertanyakan. Barang atau bahan bangunan tidak diangkut terpisah per unit bangunan. Selain itu, kisaran biaya motor laut dengan beban angkut lima tonase dari Pelabuhan Rakyat Nengahale ke Pulau Besar untuk sekali jalan sekitar Rp 500.000 s/d Rp 700.000.

Perhatikan angka-angka biaya transportasi dalam dokumen Rekapitulasi Belanja Barang Posisi s/d Agustus 2014: satu, transportasi di daratan Flores sebesar Rp 11.650.000. Dua, transportasi di daratan Pulau Besar sebesar Rp  25.615.000. Tiga, transportasi Laut dari Flores ke Pulau Besar Rp 43.000.000. Ongkos angkut material ke Pulau Besar Rp 60.000.000. Jadi, total = Rp 140.265.000.

Banyak hal yang tak jelas berkatian dengan angka-angka itu. Satu, dari mana angka-angka seperti tadi muncul? Dua, kenyataannya per 10 Januari 2015, tidak sampai sepertiga dari 150 unit rumah yang sudah selesai dibangun. Tapi total uang transport yang dihabiskan per Agustus 2014 sudah sekitar setengah dari total anggaran. Bagaimana hal ini bisa dipertanggungjawabkan dengan bukti-bukti yang sah secara hukum?

Informasi dari para tukang di Pulau Besar menyebutkan bahwa awalnya pihak BPBD mendatangkan tukang dari Nangahale untuk membangun 10 unit rumah pengungsi. Hingga hari ini tak satu pun dari 10 unit rumah itu selesai dibangun. Pekerjaan tak lagi dilanjutkan. Padahal kepada mereka sudah diberikan uang muka Rp 10.000.000. Bagaimana pengeluaran seperti ini bisa dipertangungjawabkan oleh BPBD Sikka?

Selain pengurangan jumlah seng atap yang sudah disampaikan dalam tulisan sebelumnya, kini beredar dokumen yang mengindikasikan pembengkakan pembelian kerangka jendela dan kaca nako.  Dokumen tersebut sudah diserahkan kepada penegak hukum.

Dalam Rekapitulasi Belanja Barang Posisi s/d Agustus 2014 disebutkan bahwa total harga 600 unit rangka dan kaca nako  tersebut @ Rp 240.000. Dokumen pembelian kaca nako  menunjukkan harga yang jauh lebih rendah yaitu @ Rp 137.000. Dengan demikian, total dana yang riil dikeluarkan adalah 600 x Rp 137.000 = Rp 82.200.000. Jadi, ada dugaan atau indikasi pengelembungan harga  Rp 144.000.000 – Rp 82.200.000 = Rp 61.800.000.

Beredarnya dokumen pembelian mobil Toyota Hadtop oleh BPBD Sikka seharga Rp 37.500.000 sangat mencengangkan. Jika dokumen ini valid, pembelian tersebut melabrak peraturan perundang-undangan. Dalam Perarturan Kepala BNPB No. 6.A, Tahun 2011, larangan tertulis sangat jelas: “ Tidak dipernankan untuk membeli alat transportasi, kecuali perahu, gethek, dan rakit.”

Kasus mobil Toyota Hardtop mengingatkan kita akan dua unit alat berat dan sebuah dump truck  yang dipakai oleh BPBD Sikka di Pulau Besar. Peralatan itu dibawa ke Pulau besar pada 9 Desember 2013. Selama lebih dari setahun, alat-alat tersebut kebanyakan nganggur dan rusak. Ini memicu pertanyaan: Mengapa pemilik alat berat dan dump truck membiarkan asset tersebut tak terpakai sekian lama? Mengapa BPBD Sikka memilih peralatan yang gampang rusak untuk dipakai di tempat yang jauh dan sulit? Adakah kontrak sewa-pakai, apa isinya?

Bertolak dari kasus mobil Toyota Hardtop tadi, ada dasar untuk menduga bahwa dua unit alat berat dan sebuah dump truck itu juga sudah dibeli oleh BPBD Sikka. Mengapa tidak? Penegak hukum perlu menyelidiki hal ini.

Distribusi lahan pertanian untuk para pengungsi hingga saat ini belum dibuat sama sekali. Sangat tragis. Warga direlokasi jauh dari tempat asalnya, transportasi sulit, tak ada disediakan lahan pertanian. Pihak Dinas Kehutanan dan Perkebunan Sikka tidak memastikan kapan distribusi tanah itu selesai dibuat. Prosesnya harus dilakukan secara kolektif dengan beberapa lokasi di 18 Kabupaten/kota di NTT. Jadi, tergantung juga pada kesiapan kabupaten/kota lainnya (FB 08/01/2015).

Semua karut-marut dan terlebih indikasi korupsi yang menyertainya sungguh membuat gerah. Kita punya dasar untuk bertanya sinikal kepada Bupati Sikka, BPBD Sikka, dan DPRD Sikka: Apakah program relokasi pengungsi ke Pulau Besar didesain untuk gagal dan menciptakan kantong kemiskinan baru? Telanjang terlihat, perencanaan yang buruk, koordinasi yang macet, dan pengawasan yang lemah. Kita tahu, semuanya itu adalah tentang masalah kepemimpinan dan kepemimpinan yang bermasalah. (Bersambung)

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini