Mengapa Pelaku Kekerasan Justeru Orang Beragama?

Oleh: GREGORIUS AFIOMA

Perang telah berlangsung lama di Suriah. Ditanyai oleh anak-anaknya mengapa orang-orang yang percaya pada Allah justru saling membunuh dan menyebar kebencian, Presiden Suriah Bashar Al-Assad mengaku kewalahan. Baginya tidak mudah meluruskan bahwa agama pada hakikatnya suci, sementara dalam kenyataannya mereka melihat perang justru dilakukan oleh orang-orang yang mengatasnamakan agama.

Menyamakan agama dan kekerasan merupakan kesimpulan yang tidak dapat dielak. Jika tak ditanggapi serius, identifikasi semacam itu adalah tanda-tanda permulaan dari kemerosotan pengaruh agama.

Sejarah agama Kristiani adalah salah satu contoh. Otoritas gereja menjustifikasi kekerasan melalui penerapan hukuman mati. Adalah Galileo Galilei yang dihukum mati pada abad ke-16 hanya karena berpendapat bahwa matahari adalah pusat tata surya ketika gereja sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam bidang pengetahuan pada zaman itu mempercayai bahwa matahari justru mengelilingi bumi.

Ketika kebenaran saintis itu terbukti benar, gereja dikurung habis-habisan dalam ruang privat. Lalu evolusi kehidupan sosial melahirkan apa yang kita sebut sekularisme. Dalam perkembagnan ide sekular, kenyataan yang paling memiriskan hati adalah gereja-gereja di Eropa semakin ditinggalkan, dijual, dan diubah menjadi pertokoan, hotel, dll. Patung-patung dijual. Umat berkurang drastis.

Ketika terjadi penembakkan terhadap 17 orang di Perancis baru-baru ini oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan Allah, betapapun semua orang mengatakan bahwa agama itu suci, bahkan dinyatakan bahwa penyerangan itu tidak ada hubungannya dengan Islam, namun kita tidak meredam munculnya sikap kritis terhadap agama.

Menanggapi peristiwa penembakkan tersebut, sebagaimana dikutip dalam http://www.breakingisraelnews.com, Abdulrahman al-Rashed, mantan manager umum pada televisi berita Al-Arabiya dan Koran ternama Asharq al-Awsat mengatakan, “tidak semua muslim teroris, tetapi hampir semua teroris adalah muslim.”

Sikap kritis demikian merupakan pil pahit yang harus ditelan, bukan hanya oleh umat muslim melainkan juga semua makhluk beragama. Sebab agama apa pun di dunia ini, sudah sering dan paling rawan untuk diperalat untuk kepentingan politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lain sebagainya. Kemolekan agama yang seharusnya dihasrati dan dikagumi, lalu berubah menjadi horror, menakutkan, dan yang paling buruk ditinggalkan.

Paus Fransiskus menyadari paradoks wajah agama tersebut. Ia mengatakan bahwa orang bisa saja spiritual tetapi tidak religius. Dalam ungkapan Bertrand Russell yang agnostik dikatakan: Bertuhan tanpa Agama.

Semua orang, cepat atau lambat, akan tergiring kepada pengalaman spiritual, namun akan sangsi untuk mengikat diri kepada agama apapun ketika, misalnya, orang-orang yang duduk di bangku gereja, paling terdepan untuk melakukan kekerasan. Juga tidak jarang orang yang mengaku dekat dengan Allah, justru paling cepat menghakimi hidup orang lain dan paling sulit berbelas kasih atau mudah bertindak diskriminatif.

Agama sejatinya mengantar orang kepada kecerdasan spiritual. Melalui aktivitas apapun dalam agama, manusia tergiring pada kesadaran bahwa ia hanyalah titik kecil di alam semesta ini yang tunduk pada waktu, nasib, dan kematian. Interaksinya dengan dunia yang kontingen ini membawa ia pada pengakuan akan hadirnya realitas transenden.

Kesadaran akan dunia yang kontingen tersebut seharusnya membuat manusia sadar bahwa akumulasi harta atau kekuasaan adalah sia-sia. Keserakahan tidak perlu ditekuni. Sebaliknya, makhluk beragama justru diharapkan menjadi yang paling terdepan untuk mempromosikan keadilan, memperjuangkan kesetaraan derajat sebagai manusia, dan bertindak sosial.

Akan tetapi agama kerap gagal mengantar orang kepada kesadaran yang transendental demikian. Orang-orang beragama hanya sibuk mengurus ritus dan symbol tanpa melibatkan diri dalam aksi sosial dan perjuangan sosial. Hukum-hukum agama diterapkan secara ketat tanpa mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan.

Kedekatannya dengan aktivitas liturgis dalam agama pun tidak menjamin mencapai kecerdasan spiritual yang kokoh. Tidak mengejutkan, jika orang-orang yang dianggap “sakral” seperti paus, uskup, imam, haji, ulama, pendeta terlibat dalam korupsi, penggelapan uang, pembunuhan, dan pelaku dari sejumlah kejahatan moral lainnya. Ini bentuk animasi paling buruk dari agama.

Menyaksikan banyaknya tindakan irasional seperti pembunuhan, pemerkosaan, pembantaian dll. yang dilakukan oleh makhluk-makhluk beragama, refleksi kritis yang rasional perlu diperkuat dalam agama. Tidak jarang ide-ide dalam kitab suci, simbol-simbol, dan liturgi mengungkapkan kebenaran yang ambigu dan paradoks, maka kebenaran-kebenaran dalam agama apapun selalu perlu diuji secara rasional. Sebab kekejaman seringkali dilakukan oleh orang-orang yang sangat beriman namun beriman pada simbol-simbol dan pemikiran-pemikiran yang salah dan irasional.

Menyertakan rasionalitas dalam beragama sangat fundamental agar semua simbol dan ide yang rancu tak ditafsir secara sempit dan bahkan membahayakan. Pada akhirnya kita sebagai makhluk yang pada hakikatnya beriman tidak dibodohi, dan tidak membodohi orang lain. Agama justru tidak boleh menjauhkan manusia dari Allah. Sebaliknya agama merupakan jalan terbaik untuk merefleksikan “ketakberdayaan” kita di hadapan Allah yang mahakuasa.

Jika agama-agama mau bertahan, rasionalitas dalam beriman adalah salah satu harga yang harus dibayar.

Gregorius Afioma adalah Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Jakarta

spot_img

Artikel Terkini