Cara Menatap Kekuasaan: Antara Bupati di NTT, Jokowi dan Nasehat Yesus

kekuasaanOleh: EDI DANGGUR

Tiap tahun saat liburan bulan Juni dan Juli, saya seringkali ke Manggarai untuk mengikuti misa syukur tahbisan imam baru, ulang tahun tahbisan, pesta perak imamat dan pancawindu imamat dari pastor-pastor tertentu.

Itu pesta iman, sehingga pejabat-pejabat di daerah, yang mayoritas beragama katolik pun kerap ikut ambil bagian di dalam perayaan-perayaan tersebut.

Di sini tidak berlaku sekat-sekat administratif pemerintahan. Sehingga dalam acara-acara tersebut, biasanya hadir lebih dari satu bupati. Tidak terhitung lagi kadis, kabag, kasie yang jumlahnya berjubel dari kabupaten-kabupaten tetangga. Sebagai orang katolik, kita perlu acungkan jempol untuk mereka.

Tetapi, sering jadi ironi, sebab penjemputan terhadap bupati-bupati itu jauh lebih semarak, ketimbang penerimaan kehadiran uskup dan pimpinan ordo dari pastor yang diayubahagiakan saat itu.

Mengapa? Uskup dan pimpinan ordo datang melayani dengan penuh kerendahan hati. Sedangkan pejabat-pejabat pemerintahan itu lebih banyak memperlihatkan kekuasaan mereka (show of force).

Seminggu sebelum acara dimulai, para kadis dan bagian protokol mereka lalu lalang dari ibukota ke tempat acara, untuk memastikan bahwa semua acara penjemputan akan dilaksanakan sesuai dengan kehendak para bupati itu.

Seorang kadis pernah saya tanyai: Kenapa bapak bolak-balik ke sini? Katanya, tugasnya memang demikian. Bahkan, jelasnya, dia bolak-bolik untuk mengukur berapa kilometer jarak dari ibukota dan jarak itu ditempuh dalam berapa jam sampai di tempat acara. Dengan begitu maka sang bupati bisa diatur berangkat jam berapa dari ibukota kabupaten, bisa atur ritme kecepatan iring-iringan mobil, agar sampai di tempat acara tepat waktu.

Yang menarik, ternyata diantara bupati-bupati itu ada persaingan juga dalam show of force, sama-sama mau menunjukkan bupati mana yang paling berpengaruh di antara bupati-bupati yang ada. Penerimaan adat tuak curu jadi rebutan, maka bupati-bupati itu saling bersaing untuk datang lebih awal di tempat acara.

Peran kadis-kadis dan protokol bupati sangat menentukan di sini. Bupati yang datang lebih cepat dan menerima tuak curu dari masyarakat setempat dianggap bupati paling berpengaruh.

Dalam salah satu acara yang saya saksikan sendiri, tampak terjadi persaingan merebut pengaruh di antara bupati-bupati. Dan, hal itu ternyata berlanjut sampai di rumah adat atau rumah gendang, di mana biasanya ada adat manuk kapu.

Kala itu, warga kampung setempat hanya menyediakan seekor ayam jantan untuk bupati yang memang secara administratif berhak menerima penghargaan mendapatkan manuk kapu itu. Namun, ternyata bupati dari kabupaten lain, dalam rangka show of force itu langsung menyambar menerima manuk kapu dan mengklaim diri sebagai jubir dari bupati-bupati yang ada.

Padahal, bupati yang secara administratif menguasai desa dimana acara itu dilakukan, justru sudah menyiapkan diri untuk menjawab sapaan adat dalam wujud manuk kapu itu. Di sini masyarakat jadi hura-huru untuk cari manuk kapu lainnya untuk bupati mereka.

Puncak show of force terjadi di kemah acara, di tanah lapang yang dianggap paling luas untuk ukuran desa tersebut. Dalam susunan acara yang disiapkan oleh panitia, sambutan dari bupati hanya satu yaitu dari bupati yang memang secara administratif ada dalam kekuasaan bupati tersebut. Sehingga MC (Master of Ceremony) hanya mempersilakan bupati tersebut untuk naik ke panggung guna menyampaikan kata sambutan.

Di luar dugaan, bupati dari kabupaten lain justru buru-buru ke panggung dan dari panggung dia “berbohong” seolah-olah bupati-bupati lain yang hadir dalam acara itu telah memberikan mandat kepadanya untuk bicara di panggung mewakili bupati-bupati lainnya itu.

Drama “konyol” ini berakhir ketika bupati (yang seharusnya membawa kata sambutan) mendatangi pastor sang jubilaris untuk menyerahkan naskah pidatonya sambil berujar bahwa “Tidak benar saya memberikan mandat kepada bupati dari kabupaten lain untuk memberikan kata sambutan karena saya sendiri pun sudah menyiapkan naskah pidato”.

Ya, seringkali acara keagamaan seperti ini berkurang hikmah religiusnya ketika hadir para pejabat dengan trik-trik kotor untuk menunjukkan kepada masyarakat betapa perkasa kekuasaannya. Sekalipun mungkin kekuasaan itu diraihnya dengan trik-trik kotor penuh tipu daya, tidak saja pada saat proses pilkada tetapi juga saat dia menjalankan kekuasaannya itu.

*****

Mengenang kembali drama show of force para bupati kita di NTT, rasanya sangat bertolak belakang ketika kita membaca koran atau menonton TV. Presiden Jokowi tanpa canggung pergi ke Singapura untuk menghadiri wisuda anaknya, Kaesang Pengarep, dengan menumpang pesawat Garuda. Malahan beliau memilih kelas ekonomi dan membayar dengan uang dari sakunya pula.

Perilaku Presiden Jokowi menjadi sangat istimewa. Selain karena dia tidak memperlihatkan ke publik betapa perkasa kekuasaannya sebagai presiden, tetapi juga karena hal demikian tidak pernah dilakukan oleh presiden-presiden sebelumnya.

Presiden Jokowi juga terbiasa dengan blusukan untuk mendengarkan keluh-kesah rakyat, termasuk rakyat Papua saat perayaan Natal 2014 yang lalu. Beliau juga berhadapan muka dengan sanak-keluarga korban tragedi pesawat AirAsia, sampai juga Pasar Klewer yang baru saja terbakar di Solo.

Perilaku sederhana Presiden Jokowi menjadi contoh bagi bawahannya. Menhub Ignatius Jonan sidak ke Bandara Soekarno Hatta dan menemukan berbagai jenis pelayanan yang meresahkan masyarakat. Ibu Risma, Walikota Surabaya yang memperlihatkan rasa ibanya terhadap keluarga korban pesawat Air Asia.

Panglima TNI Jenderal Moeldoko bahkan menggunakan sepeda motor saat patroli ke Papua. Djarot Saiful Hidayat yang baru dilantik jadi Wagub DKI Jakarta, rela naik sepeda motor atau bus umum TransJakarta untuk mendatangi dan mendengarkan keluh-kesah rakyat Jakarta, jauh dari iring-iringan seperti dalam cerita tentang perilaku bupati-bupati di NTT itu.

*****

Kalender Liturgi Gereja Katolik Minggu kemarin, 11 Januari 2015, menetapkan Pesta Pembaptisan Tuhan Yesus oleh Yohanes Pembaptis di Sungai Yordan. Yesus memberikan contoh bahwa walaupun Ia adalah Putera Allah tetapi Ia justru minta Yohanes membaptisnya. Yohanes sendiri merasa diri tidak pantas membaptis Yesus. Bagi Yohanes, untuk sekedar membuka tali kasus Yesus pun, ia merasa diri tidak pantas.

Pembaptisan oleh Yohanes itu adalah rangkaian teladan Yesus untuk bersikap rendah hati sejak saat Yesus dilahirkan. Sekalipun Ia adalah Putera Allah, akan tetapi Ia bersedia dilahirkan di kandang domba berbau tengik, tanpa ada penghormatan dari pejabat-pejabat politik, hanya dijenguk oleh para gembala yang sederhana dan tiga raja dari Timur yang kekuasaannya tidak seperkasa kekuasaan Raja Herodes saat itu.

Dalam semua peristiwa di atas, Yesus telah mengosongkan diri-Nya sendiri sebagai Putera Allah, dan mengambil rupa seperti hamba dan menjadi sama seperti manusia. Yesus tidak sekedar mengajarkan dengan kata-kata. Ia rendah hati, murah hati, mau bertemu dengan orang banyak tidak untuk mempertontonkan keperkasaannya sebagai Putera Allah tetapi Ia mau mendengarkan mereka dan membantu mengatasi kesulitan-kesulitan mereka.

Bagi saya sebagai umat biasa, yang tidak pernah mempelajari tafsir kitab suci secara khusus, kisah pembaptisan Yesus oleh Yohanes mempunyai beberapa pelajaran penting.

Pertama, menjadi pemimpin haruslah menjadi contoh yang baik untuk diteladani oleh orang lain, dalam perkataan, tingkah laku dan dalam kesetiaan untuk melayani. Tutur kata dan perbuatan dari bupati selaku pemimpin tertinggi dalam suatu kabupaten adalah contoh bagi para kadis, kabag, kasie, camat, kepala desa.

Itu pula yang dicontohkan oleh Presiden Jokowi, Wagub DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat dan Walikota Surabaya Ibu Risma, sekalipun mungkin mereka tidak pernah membaca kisah pembaptisan Yesus oleh Yohanes.

Kedua, pemimpin tidak boleh berusaha mendapatkan ketaatan dari bawahan atau masyarakat dengan cara paksa, tetapi secara sukarela, tidak untuk mencari keuntungan diri tetapi untuk pengabdian, tidak untuk memperlihatkan keperkasaan kekuasaan kepada orang-orang yang dipercayakan kepada si pemimpin, tetapi semata-mata untuk melayani masyarakat.

Ketiga, seorang pemimpin tidak boleh memberikan contoh yang buruk yang menyebabkan pemimpin pada level di bawahnya justru menjalankan kekuasaan lebih buruk lagi. Jika pemimpin di atasnya menunjukkan arogansi kekuasaan maka pemimpin pada level di bawahnya akan terpengaruh dan bukan tidak mungkin akan menunjukkan perilaku arogan serupa. Untuk pemimpin yang demikian, seperti kaya Yesus, patut baginya sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya untuk ditenggelam ke dalam laut.***


Edi Danggur

[infobox style=”alert-success”]Edi Danggur adalah advokat dan dosen pada Fakultas Hukum Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta. Ia aktif di Keluarga Katolik Manggarai (KKM) Jakarta [/infobox]

spot_img
spot_img

Artikel Terkini