Mengenal “Molo”, “Raja Kolo” dari Lamba Leda

Darius Gari, tokoh adat di Lompong, Lamba Leda sedang melakukan ritus cor molo. (Foto: Ardy Abba/Floresa)
Darius Gari, tokoh adat di Lompong, Lamba Leda sedang melakukan ritus cor molo. (Foto: Ardy Abba/Floresa)

Floresa.co – Nasi bambu memiliki arti tersendiri dalam adat istiadat orang Manggarai di Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Nasi ini yang dalam bahasa setempat diamakan kolo biasanya disajikan dalam upacara adat saat memulai menggarap lahan pertanian.

Selain itu, masyarakat Manggarai juga biasanya menyajikan kolo pada saat upacara syukuran hasil panen yang dinamakan penti.

Masyarakat Manggarai memiliki beragam latar belakang asal usul. Indentitas Manggarai yang ada saat ini merupakan sebuah proses panjang hasil asimilasi berbagai suku yang ada di daerah ini.

Meski sudah membentuk sebuah identitas tunggal bernama Manggarai, tetapi di dalamnya berbagai entitas suku masih ada yang membentuk aneka ragam upacara. Sepintas, upacara-upacara itu kelihatan sama tetapi sebenarnya tetap ada sejumlah perbedaan.

Terkait kolo, misalnya, meski semua wilayah mengenalnya, tetapi tetap ada sejumlah kekhasan di masing-masing daerah.

Di Lamba Leda, Kabupaten Manggarai Timur, misalnya, ada yang dinamakan kolo molo.

Ini merupakan sebutan untuk nasi bambu utama yang digunakan dalam sebuah upacara adat bakar kolo.

Kolo-kolo lainnya tidak perlu diikutsertakan dalam ritus, tetapi cukup diwakili oleh kolo molo. Untuk membuat kolo molo ini dilakukan sebuah ritus yang di Lamba Leda dinamakan ritus cor molo.

“Dalam acara adat awal membuka lahan baru atau tahun baru, kolo tidak memiliki arti kalau belum dibuat acara adat cor molo,” tutur Darius Gari, seorang tokoh adat Kampung Lompong, Desa Golo Lembur, Lamba Leda.

Menurut Darius, yang berbincang-bincang dengan Floresa.co, Kamis (1/1/2015) di kampung itu, molo  adalah rajanya kolo. Disebut demikian karena kolo molo ini menjadi kolo utama dalam ritus bakar kolo.

Di Lamba Leda, kata dia, ritus cor molo wajib dilakukan saat memulai  tahun baru. Dalam adat orang Manggarai, tahun baru juga dianggap sebagai awal masa tanam.

Darius mengatakan, acara adat cor molo melambangkan ucapan syukur atas berkat Tuhan pada tahun yang dilewati. Selain itu, ritus cor molo melambangkan persembahan dalam doa agar hasil panen dan rezeki di tahun berikutnya melimpah ruah.

Biasanya, cor molo dilakukan oleh setiap kepala keluarga dalam sebuah kampung. Setiap kepala keluarga saat acara cor molo akan menyediakan ayam sebagai simbol persembahan untuk meminta rezeki kepada Sang Kuasa.

Saat acara adat cor molo dimulai, keluarga yang melaksanakannya akan menyediakan beras, satu ruas bambu, daun enau, parang atau alat pertanian lainnya.

Semua benda itu  akan ditempatkan di atas nyiru (doku) dan diletakan di depan tetua yang menjadi  juru bicara (letang temba).

Juru bicara akan memegang ayam sambil meminta kepada Tuhan lewat ungkapan doa dalam bahasa daerah Manggarai atau biasa disebut torok atau tudak.

Setelah tetua menyampaikan permohonan, ayam akan dipotong dan sebagian darahnya dicampur dengan beras dan dilabur pada parang dan peralatan pertanian lainnya.

“Dalam cor molo, kita minta kepada Tuhan agar hasil pertanian di tahun berikutnya melimpah dan jauh dari segala gangguan,” lanjut Darius.

Beras dan alat-alat pertanian dilabur dengan darah ayam untuk mendapatkan rezeki dan dijauhi dari gagal panen serta kecelakaan seperti terluka karena kena sabetan parang saat menggarap lahan.

Titus Tamur, tokoh adat lainnya menjelaskan, dalam cor molo, warga kampung juga bisa mengetahui, apakah doa mereka diterima atau tidak.

“Kalau berasnya bocor atau meluap ke atas usai matang maka doa kita tidak diterima Tuhan. Tetapi kalau masih sama kondisinya seperti ukuran ruas bambu, berarti doa kita diterima,” ungkap Tamur.

Kolo, demikian Tamur, bisa disantap oleh siapa saja. Berbeda halnya dengan kolo molo, yang hanya pantas disantap oleh orang-orang yang sudah tua, sebab rajanya kolo ini sudah didoa dan disumpahkan.

“Kalau kolo molo dimakan oleh orang yang masih muda atau anak kecil, maka akan sakit perut, demam, tidak produktif lagi dalam menghasilkan keturunan, dan lain-lain,” kata Tamur.

Biasanya, tutur Tamur, cor molo keluarga dilakukan usai mengikuti acara serupa di rumah adat dalam satu kampung (mbaru gendang).Di rumah adat, akan ada permintaan dan doa bagi seluruh warga kampung dalam ritus cor molo umum.

Sementara, di rumah keluarga akan ada doa dan permintaan khusus buat keluarga yang bersangkutan.

Acara adat cor molo di rumah adat tentu berbeda hewan kurbannya dengan di rumah-rumah pribadi setiap masyarakat adat. Menurut Tamur, di rumah adat  atau rumah tu’a teno, hewan kurban adalah satu ekor babi.

Sebelum acara adat cor molo saat malam pergantian tahun, biasanya selalu diawali dengan acara adat teing hang yaitu memberi makan kepada nenek moyang serta sanak keluarga yang telah meninggal dunia (ata pele sina). Dalam ritus teing hang itu, ada seekor ayam lagi yang dikurbankan. (PTD/ARL/Floresa)

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.