Kontrol Publik di Hadapan Kehendak Liar Aparat

pemimpin liarOleh: GREGORIUS AFIOMA

Mendahulukan kepentingan umum adalah salah satu ciri dasar suatu komunitas politik dalam alam demokrasi. Akan tetapi, menyimak berita-berita yang menyangkut dinamika politik lokal belakangan ini, dorongan kepentingan privat kaum elit lebih terlihat dominan.

Bukankah kesan demikian yang bisa kita tangkap ketika di tengah gelombang penolakan privatisasi Pantai Pede di Manggarai Barat (Mabar), Bupati Dula tiba-tiba saja menyepakati izin yang dikeluarkan pemerintah provinsi? Apakah suatu kehendak umum bahwa menjelang pilkada di Mabar, isu pemekaran kabupaten tiba-tiba muncul?

Lebih mengejutkan, kepolisian yang menjadi tonggak penting dalam demokrasi – terkait peran mereka sebagai penegak hukum – tidak steril dari permainan kepentingan. Mereka yang seharusnya mengontrol terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan perluasaan kepentingan privat yang menyabotasi kepentingan umum, tergadaikan melalui berita-berita seperti “hibah mobil” untuk Kapolres Ruteng oleh Bupati Manggarai Timur Yoseph Tote dan dugaan keterlibatan polisi dalam urusan proyek di Mabar.

Tentu saja, kesewenang-wenangan adalah ciri dasar dari kepentingan privat kaum elit politik yang menjadi semakin dominan itu. Pada situasi demikian, kita tidak saja melihat seorang pemimpin yang bertindak menguasai, tetapi juga mempertanyakan siapa “kita” sebagai makhluk politis di hadapan pemimpin demikian.

Di alam demokrasi, memimpin berbeda dari menguasai. Pemimpin lebih dibutuhkan daripada penguasa. Dalam sejarah filsafat politik, paham demikian datang dari suatu sejarah yang panjang dengan konsekuensi yang berbeda secara signifikan.

Meskipun paham demokrasi telah dimulai semenjak zaman Yunani kuno, paham kesetaraan sendiri mendapat arti yang sepenuh-sepenuhnya pada tataran teoritis di abad modern. Baik Plato maupun Aristoteles melihat bahwa manusia tidak sama secara alamiah. Ada yang terlahir sebagai budak dan ada yang terlahir sebagai pemimpin. Maka tindakan penguasaan itu diterima.

Adalah para filsuf zaman modern seperti Hobbes dan Locke yang berusaha melucuti manusia dari segala ikatan sosial untuk menemukan apa yang paling inti yang menyamakan semua manusia. Dari model pencarian yang serupa, kita lalu berjumpa dengan pengertian yang diberikan Roussseau yang menyatakan bahwa manusia terlahir sebagai makhluk yang bebas. Kita pada dasarnya setara.

Bagi Rousseau, kenyataan bahwa kita kemudian menemukan diri berada dalam suatu komunitas politik yang dipimpin oleh seorang bupati, gubernur, atau presiden yang berbeda hak dan kewajibannya tidak menandakan suatu kondisi alamiah, melainkan hasil dari suatu kesepakatan antara makhluk-makhluk yang terlahir bebas dan setara.

Alasan dasar dari konsensus itu adalah demi keberlangsungan hidup (survival). Pribadi yang bebas itu mencari pribadi-pribadi lain untuk membentuk suatu kelompok atau masyarakat politik. Berkomunitas adalah cara survival yang lebih kuat daripada bertahan dengan mengandalkan kemampuan masing-masing. Sebab walaupun masing-masing individu menyerahkan kebebasannya pada saat berkelompok, ia tidak saja mendapat pengembalian yang serupa dari hasil penyerahan kebebasan orang lain tetapi juga memperoleh suatu kekuatan ekstra untuk bertahan.

Bertolak dari pengertian bahwa setiap orang setara tetapi mau hidup berkelompok dengan cara memberikan kebebasannya ke dalam kelompok, maka bagi Rousseau suatu kelompok atau masyarakat politis itu harus dijalankan berdasarkan kehendak umum (general will) dari hasil konsensus antara anggota-anggotanya.

Atas dasar kesetaraan itulah, jabatan sebagai bupati atau gubernur tidak berarti ia memiliki hak yang lebih untuk memaksa “kepentingan pribadinya” di atas orang lain. Kita tetaplah sama. Pemimpin dilihat hanya sebagai orang yang dipercayakan memakai “kemampuannya” untuk menjaga tatanan sosial yang disepakati bersama. Dan sumber kebahagiaannya adalah kesenangan dalam melayani kelompok tersebut.

Dengan demikian, seorang pemimpin yang cenderung menguasai dengan terus-menerus mendesakkan kepentingan privatnya di atas kepentingan umum menandakan ia sedang menyalahgunakan kepercayaan yang diberikan masyarakat. Dan rakyat pada skema demikian diturunkan derajatnya. Relasi yang tidak asimetris membuat rakyat menjadi setara dengan “budak” penguasa.

Sebutan “budak” meskipun terdengar kasar sebetulnya mau menggambarkan secara nyata bahwa apa yang terjadi dalam pemilu tidak lagi merupakan suatu proses “pemberian” kebebasan untuk dipimpin seturut kehendak bersama oleh pemimpin yang terpilih, tetapi rakyat seolah “menjual” kebebasannya sedemikian sehingga pemimpin seolah bebas bertindak sewenang-wenang atas kepentingan rakyat. Inilah yang disebut alienasi oleh Rousseau.

Kenyataan bahwa rakyat menjadi teralienasi yakni terlahir sebagai manusia bebas namun merasa dimana-mana terpenjara semakin diperparah ketika kepolisian yang menjamin kepentingan rakyat pun sudah terlibat dalam politik kepentingan.

Lalu apakah yang dilakukan oleh manusia-manusia yang terlahir bebas namun kemudian merasa diperbudak dan terpenjara?

Dalam buku The Social Contract, Rousseau menulis, “to remove his freedom from his will is to remove morality from his action.” Ungkapan itu seolah mensinyalirkan suatu bahaya dalam demokrasi yang pernah ditakuti Plato yakni situasi kekacauan. Tentu saja, selama kondisi politik tidak stabil, jangan berharap pembangunan bisa berjalan.

Untungnya, media akhir-akhir ini selalu mengontrol dan berusaha membongkar setiap langkah para elit politik dan oknum polisi yang bertindak liar, sesuka hati. Ketika hukum menjadi mandek, deliberasi di ruang publik yang terlihat melalui media dapat diandalkan untuk mengerem setiap kecenderungan penyalahgunaan kekuasaan.

Mari kita semua juga terlibat untuk mengontrol!


 

Gregorius Afioma
Gregorius Afioma

 

[infobox style=”alert-success”]Gregorius Afioma adalah alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta. Calon imam CICM yang menamatkan pendidikan SMP-SMA di Seminari Pius XII Kisol-Manggarai Timur ini sedang melanjutkan studi di Filipina. [/infobox]

 

spot_img

Artikel Terkini