Hasil Studi: Investor Asing Kurang Berminat Dengan Sektor Pertanian di NTT

uang

Floresa.co – Hasil studi Kantor Perwakilan Bank Indoensia Provinsi NTT bersama Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang mengungkapkan, minat investasi investor asing di NTT terus meningkat seiring dengan gencarnya promosi segitiga emas, NTT, Timor Leste, dan Australia.

Namun, berdasarkan studi tersebut, para pemodal asing ini kurang berminat menanamkan modalnya pada sektor pertanian, sektor yang menjadi unggulan ekonomi NTT. Mereka lebih dominan membenamkan modalnya pada sektor tersier dan sekunder, sedangkan rumpun sektor primer kurang diminati.

“Artinya, sektor pertanian beserta sub-sektornya yang merupakan sektor unggulan sesuai potensi Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Manusia di Provinsi NTT bukan menjadi daya tarik investor asing dalam menanamkan modalnya di NTT,” tulis Naek Tigor Sinaga, Deputi Direktur Perwakilan Bank Indonesia Provinsi NTT, dalam laporan Kajian Ekonomi Regional NTT yang dipublikasikan beberapa waktu lalu.

“Penanaman Modal Asing (PMA) lebih dominan menanamkan modalnya pada sektor jasa dan sektor perdagangan, hotel dan restoran.”

Studi ini juga menyimpulkan faktor utama yang menentukan daya tarik investasi di NTT berdasarkan persepsi dunia usaha adalah faktor kelembagaan dengan nilai persentase 22,54% diikuti oleh faktor infrastruktur 20,72%, faktor sosial politik 20%, faktor keadaan perekonomian 18,41% dan faktor tenaga kerja 18,39%.

Kondisi tersebut menunjukan iklim investasi di NTT belum mencapai kondisi ideal karena daya tarik investasi masih dominan ditentukan oleh variabel kebijakan (policy variable) bukan endowment variabel.

Temuan dalam studi ini ditindaklnjuti dengan Focus Group Discussion (FGD) yang melibatkan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Provinsi NTT, asosiasi pengusaha dan civitas akademika. Dalam FGD ini terungkap sejumlah faktor penghambat investasi di NTT.

Pertama, belum adanya standarisasi dan sinkronisasi perizinan seperti regulasi. Setiap kabupaten berjalan sendiri-sendiri sebagai dampak dari otonomi darah.

Kedua, minimnya infrastruktur terutama energi. Tak bisa pungkiri, kondisi kelistrikan di NTT masih jauh dari memadai.

Ketiga, kepastian hukum terutama terkait kepemilikan tanah. “Status tanah di NTT terutama tanah milik adat atau milik keluarga masih bias,” demikian tertulis dalam hasil kajian ini.

Keempat, minimnya pengetahuan dan kepedulian aparatur daerah terhadap Rencana Tata Ruang dan Rencana Wilayah (RTRW) . Kelima, tidak adanya data pusat data (data base) potensi investasi di NTT.

Terkait lima permasalahan tersebut, beberapa rekomendasi disampaikan sebagai solusi, diantaranya sentraliasasi regulasi antara pemerintah daerah, sehingga tak ada perbedaaan aturan antara kabupaten.

Terkait permasalahan kepemilikan tanah, studi ini merekomendasikan pengambilalihan lahan oleh pemerintah daerah. Tidak dijelaskan bagaimana mekainsmenya, hanya dalam laporan ini disebutkan kebijakan “pagarisasi” lahan seperti yang dilakukan oleh pemerintah provinsi Jawa Timur bisa dijadikan sebagai model untuk kejelasan status tanah yang menjadi potensi untuk investasi.

Pemerintah daerah juga diminta segera melaksanakan analisis RTRW daerah untuk memetakan sentra-sentra ekonomi baru yang memiliki konektifitas antar wilayah. Untuk mendukung hal tersebut, pemerintah daerah perlu melaksanakan sinkornisasi antar pemerintah.

Berdasarakan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi investasi di NTT terbilang mini dibandingkan daerah lainnya. Dari total 21,75 milair dollar AS penanaman modal asing di Indonesia pada periode Januari-September 2014, yang kepincut untuk membenamkan modalnya di NTT hanya 7,3 juta dollar AS atau hanya 0,03%.

Setali tiga uang dengan investor manca negara, investor domestik juga tampak menaruh minat yang kurang terhadap NTT. Dari Rp 114, 38 triliun realisasi penanaman modal dalam negeri pada Januari-September 2014, nilai realisasi untuk NTT hanya Rp 3,5 triliun. (PTD/Floresa)

spot_img

Artikel Terkini