Perdagangan Manusia: Modus Operandi, Pemicu dan Konteks NTT

Pastor Gabriel Adur SVD
Pastor Gabriel Adur SVD

Oleh: PASTOR GABRIEL ADUR SVD, misionaris di Muenchen, Jerman.

Di Muenchen, Jerman, saya berjumpa dengan beberapa korban penipuan dan perdagangan manusia. Mereka datang dari wilayah Eropa Timur setelah diiming-imingi akan mendapat pekerjaan di perusahan swasta di Jerman. Tapi, ternyata alamat agen dan calo semuanya palsu. Celakanya, beberapa dari kaum perempuan berlabuh ke tempat-tempat pelacuran.

Persoalan perdagangan manusia (human trafficking) terutama wanita di Uni Eropa yang kemudian menjadi pekerja seks (zum sexuellen Zwecke und Ausbeutung) menjadi persoalan yang belum selesai diatasi. (Bdk. Färber Huseman, 1999).

Ini hanya satu contoh kecil dari sekian banyak persoalan jual beli manusia dari waktu ke waktu. Berkaca pada kenyataan ini, mungkin bukan terlalu dini untuk mengatakan, bahwa ini adalah persoalan global.

Memperdagangkan manusia tampaknya dianggap sebagai hal lumrah. Sebuah kisah tragis dalam peradaban dunia. Persoalan ini menindas hak-hak fundamental dan martabat manusia (Bdk, Protokol Tentang Human Trafficking Amerika Serikat). Kita tahu, human trafficking menjadi kejahatan internasional ketiga, di samping penjualan ganja dan penjualan senjata (arms trafficking).

Organisasi Buruh International (The International Labour Organization, ILO) baru-baru ini memperkirakan 11, 4 orang menjadi korban kejahatan ini, di mana 55 persen adalah kaum perempuan dan anak-anak.

Indonesia menjadi salah satu negara pelaku. Bahkan Indonesia menjadi negara transit bagi perempuan, anak-anak dan orang-orang sasaran human trafficking, termasuk prostitusi paksa dan kerja paksa. Hal kerap timbul karena ketidaktahuan masyarakat akan modus-modus perdagangan manusia.

Salah satu pemicu paling besar bagi masalah ini adalah kemiskinan. Ada beberapa faktor katalis yang mendorong pertumbuhan kemiskinan, termasuk rendahnya kesadaran untuk bekerja dan terampil mengolah usaha, kurangnya lapangan pekerjaan bagi yang berpendidikan dan tak berpendidikan. Kemiskinan bertumbuh pesat dan memaksa masyarakat kecil untuk mencari pekerjaan ke daerah atau negara yang surplus uang, tanpa melihat risiko.

David Wyatt, peneliti dari Australia melihat adanya penyebab struktural seperti pendidikan yang rendah. Kebanyakan anak Indonesia tidak berpendidikan, karena subsidi pendidikan minim untuk anak-anak miskin. Kesenjangan sosial antara orang kaya dan miskin melebar dan rendahnya komitmen penegak hukum serta negara untuk mengatasi persoalan sosial turut menjadi pemicu.

Faktor-faktor di atas akan sangat mudah dimanfaatkan oleh agen-agen trafficking. Prinsip mendulang keuntungan dalam kemelaratan sosial menyebabkan persoalan menjadi lebih rumit. Ada kecurigaan terselubung bahwa agen-agen bisa saja berkolaborasi dengan aparat hukum dan kepolisian. Kisah menyuap aparat hukum memang bukan hal baru di Indonesia. Kalau dalam persoalan trafficking mereka bermain di dalamnya, komplikasi persoalan digandakan.

Modus perdagangan manusia yang terjadi juga di NTT dapat dipetakan secara sosiologis sebagai berikut. Para agen melakukan perekrutan dengan berbagai cara dan propaganda. Kemudian, mereka mencari agen di tempat lain sebagai penerima. Kedua, dalam situasi tertentu mereka bahkan menggunakan kekerasan dan intimidasi, penipuan dan penculikan sampai pada penjeratan hutang dan penggunaan kekuasaan. Tentunya, modus yang tak baru adalah mengeksploitasi.

Modus operandi trafficking yang demikian sangat mungkin terjadi di daerah-daerah yang miskin seperti di NTT dan kawasan Timur Indonesia. Kemiskinan menjadi berkah bagi agen berduit. Mereka mengail di air keruh.

Hal itu membuat eksploitasi manusia terutama eksploitasi seks, pelacuran, perekrutan Pembantu Rumah Tangga (PRT) yang sering mengalami kekerasan di kota-kota besar menjadi kian jamak.

Ada wanita-wanita yang menjadi korban di tempat-tempat disko dan bar, ada kisah pengantin pesanan sampai penjualan bayi. Dalam situasi kemelaratan, manusia menggadaikan organ tubuhnya (sale on all body part).

Dunia internasional kembali membuka mata terhadap persoalan ini setelah ILO mengungkapkan persoalan yang terjadi di Timur Tengah lewat laporan ”Tricked and Trapped: Human Trafficking in the Middle East“, di mana sekitar 600.000 orang terperangkap dalam tipuan dan menjadi korban eksploitasi, terutama eksplotasi seksual.

Laporan ini menjadi sangat penting untuk Indonesia karena kebanyakan pencari kerja Indonesia diekspor ke negara-negara Arab Saudi yang menjadi sarang kejahatan terhadap hak asasi manusia

Human trafficking membuahkan dan meninggalkan banyak persoalan kemanusiaan. Begitu banyak korban menjadi mangsa agen-agen ilegal. Korban mengalami kerugian fisik dan psikologis. Ini menjadi penyakit akut yang membuat masyarakat dimiskinkan secara psikologis dan juga terstruktur.

Persoalan Hukum

Adanya eksploitasi langsung terhadap manusia merupakan bencana kemanusiaan yang tak dapat ditolerir dengan alasan apapun. Tak dapat dibayangkan betapa besarnya beban negara dan masyarkat kalau persoalan ini tidak ditangani secara serius. Trafficking semestinya ditangani secara konsisten dan komprehensif.

Dalam banyak diskusi tentang persoalan ini, banyak strategi praktis untuk mengatasinya, termasuk sosialisasi dan pencerahan masyarakat untuk mengenal bahaya trafficking. Hal lain adalah mengintensifkan solidaritas korban dengan melaporkan persoalan kepada pihak berwenang, melakukan advokasi atas korban yang berada dalam situasi traumatis. Bahkan banyak aktivis yang juga secara langsung mendampingi para korban untuk melakukan terapi dari situasi traumatis.

Human trafficking masuk dalam kategori persoalan hukum yang sangat akut. Ketika hukum di suatu negara tidak mengayomi warga dan haknya, maka yang terjadi bahwa hukum menjadi hamba uang, bisa dipergunakan sebagai alat untuk melegitimasi kepentingan calo dan agen-agen perdagangan manusia.

Munculnya banyak kasus trafficking juga sangat bertautan dengan lemahnya penerapan UU Nomor 21 / 2007 tentang Pemberantasan Tindakan Pidana Perdagangan Orang ( PTPPO). Dalam kasus perdagangan manusia aparat hukum menerapkan KUHP dan tidak menggunakan UU PTPPO. Ketidakjelasan menerapkan sebuah UU bisa membuat agen-agen trafficking yang terkena UU PTPPO lolos dari jeratan hukum.

Ini merupakan kesalahan praksis hukum yang memicu bertumbuhnya persoalan ini. Ketika kasus trafficking hanya ditakar oleh aparat hukum yang melihat dari tujuan sebuah kasus saja dan hanya menuntut bukti materiil, maka persoalan tidak bisa secara komprehensif diselesaikan. Pembuktian materiil tidak cukup mengatasi persoalan ini. Modus, tujuan dan resiko (psikologis dan fisik korban) dari persoalan mesti menjadi pertimbangan hukum dalam mengadvokasi korban.

Sebagai bagian dari persoalan global, hukum di setiap negara seyogyanya sudah bisa berpedoman pada Hukum Pidana Internasional yang mulai berlaku sejak 25 Desember 2003. Di dalamnya ditentukan kriteria-kriteria hukum tentang human trafficking. Di sini diatur soal perekrutan, pengangkutan, transfer, penjualan atau pembelian manusia dengan pemaksaan, penipuan atau taktik-taktik pemaksaan lainnya.

Perdagangan manusia termasuk dalam kejahatan yang tak dapat diputuskan mata rantainya, kalau sekarang kita menutup mata. Pilihan kita saat ini, bersama-sama memutuskan mata rantai masalah ini.

Kita butuh tekad dan keberanian, seperti Brigadir Rudy Soik, yang mampu mengungkapkan mafia trafficking dan tak sungkan melaporkan komandannya ke Komnas HAM. Di NTT, agama-agama, birokrat, tokoh masyarakat dan tokoh politik perlu mengemban peran yang sama menghadapi hal ini.

spot_img

Artikel Terkini