Terkait UU Pilkada, Romo Max Regus Tulis Surat Terbuka Untuk SBY

Romo Max Regus Pr
Romo Max Regus Pr

Floresa.co – Lolosnya UU Pilkada yang menghapus Pilkada langsung membuat angggota DPR RI dari Koalisi Merah Putih yang mendukung Pilkada lewat DPRD menuai kecaman dari berbagai pihak.

Kecaman juga ditujukan kepada Presiden SBY yang dianggap tidak mampu memelihara angin segar bagi iklim demokrasi di Indonesia.

Kecaman terhadap SBY juga terkait dengan sikap anggota partainya, Fraksi Demokrat, yang dalam sidang paripurna lalu memutuskan walk aout dari ruang sidang, hal yang membuat Koalisi Merah Putih menang dalam proses voting, melawan sejumlah partai yang mendukung Pilkada langsung.

Romo Max Regus Pr, salah satu imam Keuskupan Ruteng-Flores yang sedang studi di Belanda dan terbiasa terlibat aktif memantau proses politik di Indonesia pun menulis surat terbuka untuk SBY.

Ia mengungkapkan kekecewaannya pada SBY dan Demokrat yang ia sebut “tampil sebagai kelompok yang anonim secara politik”. Ia juga menyebut, “sungguh sayang, bangsa besar ini ternyata dipimpin oleh sekelompok pelaku politik yang inkonsisten”.

“Rakyat tidak akan mengingat tragedi ini terjadi pada periode DPR kapan, karena jumlah mereka terlalu banyak untuk diingat, melainkan akan lebih mudah mengenangnya dan melekatkannya pada rezim politik SBY”, tulis Romo Max.

Surat imam yang juga penulis produktif di berbagai media massa nasional, seperti Kompas dan Media Indonesia diunggahnya di Kompasiana.com. Berikut isi lengkapnya:

Bapak SBY, Terima Kasih Untuk Kado Demokrasi!

Oleh Max Regus, Alumnus S2 Departemen Sosiologi UI, imigran Indonesia yang sedang belajar di negeri Belanda

Pak Presiden SBY yang mulia,

Bagaimana suasana akhir pekan Bapak? Semoga Bapak selalu dalam keadaan sehat dalam menyempurnakan akhir dari perjalanan kepemimpinan politik ini, dengan hari-hari yang indah, bukan saja untuk Bapak semata, melainkan juga untuk warga masyarakat yang amat mencintai Bapak. Di mana Bapak menghabiskan akhir pekan yang lalu?

Kami sebagai rakyat biasa hanya menghabiskan hari-hari di pekan yang lalu sambil melongok menatap layar kaca menantikan seperti apa para wakil rakyat mengambil keputusan tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)! Namun, sebelum sampai pada topik ini, saya ingin ngobrol satu dua hal berikut dengan Bapak.

Bapak pasti juga tahu, saking begitu fenomenalnya kepemimpinan bapak selama sepuluh tahun terakhir, dengan seabrek prestasi, yang berdatangan dari luar negeri dan bertumpukan di negeri sendiri, beberapa peneliti sosial tentang Indonesia terutama yang beredar di manca negara, tidak segan membuka diskusi bahkan riset khusus tentang warisan kepemimpinan politik Bapak selama sepuluh tahun terakhir.  Bagi mereka, ini kejutan demokrasi yang dimiliki Indonesia, yang baru saja meninggalkan sejarah panjang Rezim Orde Baru.

Dalam analisis mereka, ada beberapa aspek penting pencapaian Bapak yang sudah sepatutnya dicatat dalam bundelan sejarah politik dan kekuasaan di negeri ini. Pertama, pelembagaan demokrasi dapat berjalan dengan baik meskipun proses ini belum sepenuhnya didukung oleh pembenahan mentalitas dan perilaku para pelaku politik. Tentu, terutama di ranah kekuasaan. Bapak pasti punya catatan tersendiri tentang soal krusial ini.

Kedua, dunia internasional menganggap Bapak telah sangat berhasil dalam mempercepat pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga mencapai tangga yang mengaggumkan untuk sebagian kalangan. Sekurangnya, Bapak tidak meningalkan beban untuk kepemimpinan nasional pada periode berikutnya. Ketiga, Bapak dapat mengelolah ketegangan dan konflik politik dengan santun dan berwibawa meskipun ada kesan lamban dan tidak tegas. Hal yang menyebabkan terbengkelainnya beberapa persoalan mendasar semisal jaminan perlindungan politik bagi kelompok minoritas di Indonesia.

Bapak SBY yang budiman,

Pujian yang dialamatkan kepada Bapak terus mengalir dengan begitu derasnya setelah penyeleggaraan Pemilu pada separuh tahun 2014 ini. Dengan sukses, tentu saja! Bapak dianggap mampu, bukan saja mengawal demokrasi, tetapi menuntun demokratisasi di Indonesia menuju titik pengharapan. Itu sama sekali tidak terbantahkan! Bapak adalah sang juara demokrasi. Tidak salah pula Bapak menamakan partai yang Bapak lahirkan dengan nama Partai Demokrat.

Di luar perkiraan, ternyata benar, Pilpres 2014 tidak pernah selesai bahkan momentum itu menuntun lingkaran elite politik ke dalam kubu-kubu yang mengeras dan terus membeku dari hari ke hari. Rakyat sebelumnya berpikir bahwa ini cuma masalah para penguasa, yang sebentar lagi akan selesai jika pembicaraan tentang posisi kekuasaan bisa diselesaikan dengan baik. Artinya, akan datang waktunya bangsa ini memetik buah ranum terbaik dari hasil kerja politik yang tekun, konsisten dan demokratis.

Lalu, datanglah RUU tentang Pilkada itu! Ternyata, pertarungan Pilpres 2014, belum selesai. Celakanya, syahwat politik yang belum tersalurkan dan terpuaskan sepenuhnya dalam ajang Pilpres 2014, seolah menemukan ruang terbaik bagi pemenuhannya dalam proses pengambilan keputusan DPR tentang RUU Pilkada.

Sejumlah lembaga survei politik menyebutkan dukungan kepada Pilkada Langsung seperti yang terjadi selama Bapak memimpin Indonesia berada di kisaran 70an%. Suara-suara di Media Sosial yang menyerukan agar DPR harus mempertimbangkan hak rakyat dalam Pilkada juga begitu kencang. Belum lagi gerakan-gerakan dari masyarakat sipil Indonesia. Momentum perjuangan publik ini seolah mendapatkan angin surga dukungan politik ketika Bapak secara benderang menyatakan dukungan bagi Pilkada Langsung.

Di antara dua blok – Pilkada Langsung versus Pilkada Tidak Langsung – Partai besutan Bapak menawarkan opsi Pilkada dengan sepuluh catatan. Malam itu, kami menyaksikan bagaimana kubu Partai Demokrat memandang pentingnya sepuluh catatan jika Pilkada Langsung jadi pilihan. Lalu, anggota Fraksi Demokrat dengan entengnya meneriakan walk out saat voting jadi kesepakatan paripurna dalam pengambilan keputusan dengan tidak menjadikan opsi Partai Demokrat sebagai salah satu pilihan politik.

Bapak SBY yang budiman

Beragam reaksi bermunculan terhadap sikap Partai Bapak. Lebih daripada sekedar kemarahan dari masyarakat yang mendukung Pilkada Langsung, beberapa pertanyaan sederhana mungkin baik diajukkan kepada Bapak.

Pertama, apakah sepuluh catatan tambahan karangan Partai Demokrat terhadap Pilkada Langsung – yang bagi sebagian anggota DPR akan amat sulit jika langsung dimasukkan ke dalam Draft RUU – adalah semacam bagian dari Kitab Suci atau Dogma dari Partai Demokrat –sehingga ketika kesepuluh catatan itu ditolak – Partai Demokrat harus mengambil sikap tegas untuk tidak memberikan keputusan pada dua opsi lain yang bukan opsi Partai Demokrat? Bukankah itu menggambarkan keangkuhan politik? Egoisme kepartaian? Hegemoni kekuasaan? Sikap politik yang menganggap diri paling penting, paling besar dan paling menentukan sehingga setiap sikap dari partai Bapak pasti akan membawa dampak yang signifikan? Memang benar kemudian! Sikap walk out anggota Fraksi Demokrat membawa pengaruh besar pada pengambilan keputusan paripurna DPR.

Kedua, apakah benar Bapak yang memberikan perintah walk out itu? Memang sebenarnya tidak penting juga untuk tahu soal ini. Nyatanya, Partai Demokrat yang berkuasa sepuluh tahun ini, akhirnya tampil sebagai kelompok yang anonim secara politik. Sungguh sayang, bangsa besar ini ternyata dipimpin oleh sekelompok pelaku politik yang inkonsisten. Jika benar Bapak yang memberikan perintah itu, tega benar Bapak melakukan itu! Bapak telah melenyapkan hak politik ratusan juta warga bangsa ini hanya dalam sekali tepokan jidat! Mengapa Bapak enggan untuk bersikap secara gambling untuk berdiri di pihak – entah Pilkada Langsung – atau ke kubu di mana anak buah Bapak berada saat Pilpres lalu – Koalisi Merah Putih!

Selain itu tidak sesuai dengan suara Bapak beberapa hari sebelumnya yang mendukung Pilkada Langsung, sangat disayangkan, Bapak coba membangun argumentasi, seolah Bapak dan Partai Demokrat adalah korban Politik karena sepuluh catatan keramat itu tidak diindahkan fraksi-fraksi lain. Sungguh aneh, jika sepuluh catatan itu jadi alasan, karena semuanya itu adalah refleksi dari kelemahan mekanisme Pilkada selama pemerintahan Bapak. Bagaimana mungkin Partai Demokrat memaksakan sepuluh catatan itu di mana rezim Bapak adalah Rahim dari catatan-catatan itu? Lalu, jika benar bahwa anak buah Bapak yang mempunyai inisiatif untuk walk out, lalu apakah layak Bapak menyebut diri sebagai orang yang dizalimi seperti yang selama satu dekade ini seringkali coba Bapak bangun dalam komunikasi politik. Apakah cukup etis untuk menyebut bahwa Bapak adalah korban dari ulah anak buah sendiri?

Ketiga, bagaimana sebetulnya perasaan Bapak yang sebentar lagi akan menjadi warga negara biasa seperti saya ketika tahu bahwa Bapak mungkin tidak akan pernah bisa mengunjungi TPS untuk memberikan suara dalam Pilkada karena UU ini?  Mungkin saja, Bapak tidak peduli dengan perubahan itu karena sudah merasakan kenikmatan mekanisme pemilihan langsung. Jadi, janji Bapak untuk berjuang melawan UU Pilkada ini selepas diputuskan wakil rakyat beberapa hari yang lalu adalah ekspresi dari kebuntuan cara pikir dan cara kelolah demokrasi dan politik yang sama sekali tidak konstruktif. Secara pribadi, saya sangat heran, di akhir masa kekuasaanini, Bapak yang dikenal sebagai sosok pemimpin demokratis beberapa bulan lalu, tiba-tiba mengalami devolusi politikmenggelikkan!

Bapak SBY yang budiman,

Bagaimanapun disposisi batin Bapak saat ini, kegalauan politik (jika itu benar ada!), tidak akan pernah bisa mengembalikan kesempurnaan citra demokrasi Indonesia yang sedemikian melambung pada Pilpres 2014 ini. Gambaran itu sudah terluka. Dan luka itu, salah satunya, disebabkan oleh pemimpin rakyat sendiri. Rakyat tidak akan mengingat tragedi ini terjadi pada periode DPR kapan, karena jumlah mereka terlalu banyak untuk diingat, melainkan akan lebih mudah mengenangnya dan melekatkannya pada rezim politik SBY. Apapun yang ingin Bapak lakukan, bernegosiasi dengan MK atau langkah politik lainnya, paripurna beberapa waktu lalu itu, dan hasilnya, adalah kado politik yang rakyat terima di akhir masa kepemimpinan Bapak. Terima kasih untuk kado demokrasi pamungkas ini dari Bapak. Salam hormat!

 

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini