Bapak, Tolong…., Tolong…, Tolong Kami…

matimFloresa.co, Borong – Di ruangan Aula Kantor Bupati Manggarai Timur di Lehong, Borong, Flores, Nusa Tenggara Timur, Rabu (17/9/2014), suara jeritan seorang pria menggema.

Dari fisiknya, tampak ia sudah tua. Di pingganggnya, ia memakai songke. Kepalanya ditutup dengan topi adat bermotif Manggarai. Tampak, ia mengenakan kemeja putih bergaris yang sudah usang.

Rikardus Hama, nama pria 60 tahun tersebut. Ia berasal dari Tumbak, sebuah kampung di Desa Satar Punda, Kecamatan lamba Leda, yang akhir-akhir ini ramai dibicarakan, karena terlibat konflik dengan perusahan tambang, PT Aditya Bumi Pertambangan.

Ia berbicara sambil memegang microphone yang disiapkan para pegawai di kantor bupati. Suaranya lantang, tapi tubuhnya gemetar saat berbicara, seolah menahan amarah begitu hebat.

“Bapak, tolong…, tolong…, tolong kami. Bapak tolong kami warga masyarakat Kampung Tumbak yang sedang mencari keadilan”, kata Rikardus di hadapan Wakil Bupati (Wabub) Manggarai Timur, Andreas Agas.

Rikardus mengisahkan, ia tidak tega melihat situasi saat ini di kampungnya, di mana terjadi konflik antarsesama warga, yang pro tambang versus kontra tambang.

“Kami sangat kecewa dan kesal dengan Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur yang tidak pernah mendengarkan suara kami”, lanjutnya lagi.

“Kami berjuang tidak untuk diri kami sendiri, tapi kami berjuang untuk generasi Manggarai Timur di masa mendatang” ungkap Rikardus, lirih.

Seolah marah, karena tak mendapat respon dari Wabub Agas, ia berteriak.

“Kami bertanya, Pemkab Manggarai Timur berada di pihak mana, apakah berpihak kepada rakyatnya atau kepada pengusaha tambang,” tuturnya.

Ungkapan Rikardus keluar dari perasaannya sebagai masyarakat kecil yang mengalami perlakuan ketidakadilan.

Ia pernah bersama seorang warga lain dipenjara 3 bulan sejak Mei-Agustus lalu karena terlibat kasus dengan salah satu pegawai perusahan.

Kisah getir lain diungkap oleh Wilhelmus Amir, juga warga Tumbak.

Di hadapan Bupati Yosep Tote dan Komisioner KOMNAS HAM RI Maneger Nasuition saat dialog antara kelompok pro dan kontra tambang, ia menjelaskan, di bawah kaki gunung yang akan dilakukan pengeboran oleh perusahaan tambang, ada persawahan dan sumber mata air.

“Kalau gunung dibongkar oleh mesin tambang, maka sawah sebagai penopang kehidupan warga Tumbak serta sumber mata air akan hancur”, katanya.

“Resikonya sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup warga Tumbak apabila IUP tidak dicabut”, jelas Wilhelmus.

Ia menegaskan, harapan masyarakat kecil yang juga rakyat Manggarai Timur agar Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur lebih mendengarkan rintihan hati nurani dari anak-anak Manggarai Timur.

“Kami mau menanam benih padi di mana lagi apabila persawahan kami ditutup oleh tanah tambang. Kami 52 Kepala Keluarga (KK) tetap mempertahankan hak kami demi anak cucu di masa depan,” tegasnya.

Benyamin Malsi, warga lain, juga mengungkapkan harapan yang sama.

“Kami minta Bupati Manggarai Timur, Yoseph Tote bijak dan berhati nurani untuk tidak memberikan IUP”, katanya.

“Kami minta ijin usaha produksi kepada perusahaan pertambangan dicabut,” tegas Benyamin.

Sementara itu, Abdul Karim, tu’a teno (tua adat pembagi lahan ulayat) yang mewakili kelompok pro tambang menjelaskan, pada 10 Mei 2014, seluruh warga masyarakat Tumbak duduk bersama di rumah adat Tumbak untuk menyerahkan tanah ulayat kepada perusahan.

Tetapi, kata dia, setelah menyatakan kesepakatan bersama, sebagian warga Tumbak menolak dan pulang ke rumah masing-masing.

Informasi yang dihimpun Floresa, peristiwa tanggal 10 Mei tersebut menjadi alasan bagi perusahan untuk masuk ke lokasi warga.

Padahal, Pastor Simon Suban Tukan SVD, Kordinator JPIC-SVD menyatakan, warga Tumbak tidak pernah memberi mandat kepada tu’a teno untuk menyerahkan lahan kepada perusahan. (Markus Makur)

spot_img

Artikel Terkini