Mengapa Bupati Tote Itu Bohong?

Baca Juga

Melky Nahar, Manager Kampanye Tambang dan Energi Walhi NTT
Melky Nahar, Manager Kampanye Tambang dan Energi Walhi NTT

Oleh: Melky Nahar, Manager Kampanye Tambang dan Energi Walhi NTT

Persoalan seputar pertambangan mangan di Nusa Tenggara Timur beberapa bulan terakhir, kembali hangat diperbincangkan berbagai elemen. Setidaknya ada dua wilayah yang menjadi pusat perhatian publik tersebut.Pertama, persoalan tambang mangan PT. Nusa Lontar Resources yang beraktifitas di Ai Tameak, Desa Ekin Kecamamatan Lamaknen Selatan, Kabupaten Belu yang sampai saat ini belum mendapat respons konkret Pemerintah Kabupaten Belu. Perusahaan yang beroperasi tepat di pemukiman warga Dusun Ai Tameak dan diprakarsai oleh Jefri Riwu Kore, Anggota DPR RI Partai Demokrat Dapil NTT II itu, terus membongkar perut bumi Ai Tameak. Pemkab Belu pun ‘seolah’ berdiam diri dan masa bodoh menyaksikan keberingasan perusahaan. Pemkab Belu berdalil, masih terus mengkaji berbagai fakta temuan yang disampaikan Gerakan Pro Kehidupan (G-Pro-K), sebuah wadah, tempat bergabungnya Elemen Masyarakat, Mahasiswa, Gereja dan NGO yang peduli dengan eksistensi dan keberlangsungan alam lingkungan dan anak cucu. Kini, sudah hampir tiga (3) bulan, Pemkab Belu masih membiarkan perusahaan beroperasi. Suara-suara yang disampaikan Gereja, NGO dan Masyarakat selama ini dianggap angin lalu bahkan pepesan kosong yang tanpa makna, ketika melihat sikap Pemkab Belu yang acuh tak acuh bahkan menyimpan bom waktu yang kapan saja bisa meledak.

Kedua, pertambangan mangan di Kampung Tumbak, Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai Timur (Matim). Adalah PT Adytia Bumi Pertambangan, perusahaan tambang asal India, milik Budhraja Grup, memasuki tanah ulayat warga dan hendak membongkar isi perut bumi wilayah itu. Kehadiran perusahaan itu bukan tanpa alasan. Berdasarkan laporan survei, Good Earth Indonesia (Induk Usaha ABP di Indonesia), deposit mangan di Matim masuk dalam kategori mangan berkualitas tinggi (Manganese Dioxide Ore) yang digunakan untuk menopang sektor manufaktur dari perusahaan dan mejadi standar yang digunakan oleh pembelinya di Eropa Barat, Kanada, dan Asia Timur. Perusahaan ini hadir dengan membawa secarik kertas suciberupa Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi dengan SK No. HK/81/2009 dari Bupati Matim dengan total konsensi lahan  seluas 2.222 hektar.

Tulisan ini hadir untuk menanggapi pernyataan publik Bupati Manggarai Timur yang dilansir Pos Kupang (Kamis, 7 Agustus 2014) dengan judul “Bupati Tegaskan Belum Ada Izin Baru”. Dalam pemberitaan tersebut, Yoseph Tote selaku Bupati meminta semua elemen masyarakat untuk tidak berpikir yang aneh atau mencurigai setiap kebijakan yag diambil khusus soal pertambangan mangan di wilayah itu.  “Tidak ada satu izin produksi tambang yang baru. Yang ada hanya penyesuaian administrasi terhadap izin lama. Kita hanya keluarkan izin penelitian untuk melihat kekayaan yang ada di perut bumi. Untuk izin produksi nanti harus persetujuan masyarakat dan pertimbangan DPRD. Jadi, jangan curiga yang tidak-tidak”. Tegasnya. Lebih lanjut, Yoseph Tote, menyatakan, “Hasil pertambangan untuk daerah Manggarai Timur sebesar Rp. 12,5 miliar setiap tahun dan terkait persoalan tanah ulayat seperti yang terjadi di Kampung Tumbak, Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda, itu menjadi urusan antara masyarakat dan pihak, ketiga, yaitu investor tambang bukan dengan pemerintah.Pemerintah kata dia, hanya memfasilitasi dan mencari solusi agar tidak terjadi konflik antara sesama masyarakat dan investor. Tote pun mengklaim “sebelum ada desakan dari pihak lain, pemerintah Manggarai Timur sudah lakukan mediasi terkait persoalan di Tumbak, kalau masalah tanah itu urusan masyarakat dan investor, pemerintah hanya memediasi agar tidak terjadi hal  yang tidak diinginkan,” kata Tote.

Deretan pernyataan sang Bupati di atas membuat saya terkejut sambil bertanya-tanya. Bagaimana mungkin seorang bupati yang memimpin untuk kedua kalinya mau dan secara sadar mengeluarkan pernyataan publik seperti itu? Benarkah Tote memahami dengan baik dan benar soal pertambangan mangan serta aturan atau regulasi di dalamnya? Namun, apa lacur, pernyataan itu sudah dikonsumsi dan ramai diperbincangan publik. Dengan demikian, Tote tak bisa bergeming lagi.

Pertama, pernyataan “Tidak ada satu izin produksi tambang yang baru.Yang ada hanya penyesuaian administrasi terhadap izin lama,”. Pernyataan ini mengandung sejumlah kebohongan yang entah sadar atau tidak sadar diucapkan sang Bupati. Data hasil rekonsiliasi yang dilakukan Ditjen Minerba Periode September 2012/2013 yang saya pegang saat ini menunjukkan, di Kabupaten Manggarai Timur sudah ada perusahaan tambang yang mengantongi Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP OP). Dua IUP OP tersebut diberikan kepada PT Adytia Bumi Pertambangan dan PT Istindo Mitra Perdana oleh Bupati sendiri setahun setelah memenangi Pilkada di wilayah itu. PT Adytia Bumi Pertambangan sendiri, sesuai dengan dokumen yang tertera dalam IUP OP berlokasi di Waso, Satar Teu, Lengko Lolok, Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda dengan masa berlaku selama sepuluh (10) tahun terhitung sejak 27 Agustus 2009 sampai 27 Agustus 2019. Sedangkan, PT Istindo Mitra Perdana mengantongi IUP OP dengan total konsensi wilayah 736,30 hektar, meliputi Serise, Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda dengan masa berlaku delapan (8) tahun, terhitung sejak 12 Oktober 2009 sampai 12 Oktober 2017.

Kedua, pernyataan “kita hanya keluarkan izin penelitian untuk melihat kekayaan yang ada diperut bumi”.  Kalau merujuk pernyataan ini, tanpa melihat data sebagaimana yang saya cantumkan pada poin sebelumnya, sejumlah pertanyaan pun muncul dan seyogianya harus mendapat jawaban dari sang Bupati. Mungkinkah hanya dengan memberikan izin penelitian untuk melihat kekayaan yang ada di dalam perut bumi Manggarai Timur, investor tambang berani mengeluarkan uang sebesar Rp. 12,5 miliar per tahun sebagaimana pernyataan Tote dalam berita tersebut? Mungkinkah penelitian yang tidak menghasilkan mineral, dan belum menjual hasil produksi, tetapi investor justru berani memberikan uang Rp. 12,5 miliar per tahun untuk Manggarai Timur? Memang sudah berapa banyak izin usaha pertambangan (eksplorasi/penelitian) yang diberikan kepada investor sehingga bisa menghasilkan uang Rp. 12,5 miliar per tahun? Bukankah pernyataan bupati itu contradictio in terminis, di satu sisi menyatakan belum mengeluarkan izin usaha pertambangan operasi produksi, tetapi di sisi lain mengaku ‘hasil tambang’ untuk kabupaten yang dipimpinnya sebesar Rp 12,5 miliar per tahun? Bukankah hasil tambang baru bisa didapatkan kalau sudah ada izin produksi? Mengapa bupati tidak menolak menerima uang Rp 12,5 miliar per tahun dari investor jika benar belum memberikan izin produksi? Tentu masih begitu banyak pertanyaan-pertanyaan serupa untuk menanggapi pernyataan Bupati tersebut.

Ketiga, pernyataan “untuk izin produksi nanti harus persetujuan masyarakat dan pertimbangan DPRD. Jadi, jangan curiga yang tidak-tidak”.Pertanyaan saya, aturan atau regulasi mana yang dipakai Bupati bahwa persetujuan masyarakat baru boleh diminta kalau sudah masuk pada tahapan operasi produksi? Pernahkah sang Bupati membaca dan memahami amanat Undang-Undang Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) No 4 Tahun 2009 Pasal 135 menyatakan bahwa “Pemegang IUP eksplorasi atau IUPK eksplorasi hanya dapat melaksanakan kegiatannya setelah mendapat persetujuan dari pemegang hak atas tanah?” Adakah investor tambang yang berani mengeluarkan biaya sebesar itu untuk kepentingan eksplorasi saja tetapi kalau nanti masyarakat dan DPRD tidak memberikan persetujuan dan investor hanya diam saja?

Keempat, pernyataan “terkait persoalan tanah ulayat seperti yang terjadi di Kampung Tumbak, Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda, itu menjadi urusan antara masyarakat dan pihak ketiga, yaitu investor tambang bukan dengan pemerintah”. Pertanyaan saya adalah apa tugas dan tanggungjawab anda selaku bupati yang dimandatkan rakyat dan juga diamanatkan dalam konstitusi kita? Dimana letak keberpihakan anda selaku Bupati disaat dua warga Tumbak yang berusaha mempertahankan tanah warisan leluhurnya dikriminalisasi karena dianggap berusaha menghalangi aktifitas perusahaan dan berujung pada penjara kurungan selama tiga (3) bulan? Bukankah anda selaku Bupati dipilih langsung oleh rakyat mengemban tugas dan tanggungjawab untuk melayani rakyat sebagaimana amanat dalam UU Otonomi Daerah?

Akhirnya, inkonsistensi dalam mengambil sikap melalui pernyataan publik di media yang mungkin menurut Bupati Tote tidak berpengaruh pada opini publik, tetapi sesungguhnya hal tersebut sementara menggambarkan karakter dari pembicara itu sendiri. Rasanya tidak berlebihan ketika saya berharap kejujuran dari seorang Tote karena pada dasarnya seorang pejabat publik termasuk bupati dalam mengemban kekuasaan yang dimilikinya, seyogianya menjadi teladan dalam bersikap dan bertutur kata. Bertutur kata tidak jujur di depan publik, tidak hanya menjatuhkan reputasi dari penutur, tetapi itu juga sebagai suatu kejahatan  yang dipertontonkan kepada masyarakat.

 

Sebelumnya artikel ini muncul di http://kabarekologi.blogspot.com/ dengan judul “Menguak Kebohongan Bupati Manggarai Timur”. Dimuat lagi di sini atas izin penulis.

 

Terkini