2 Petani Tumbak Dipenjara, Hakim PN Ruteng Mengacu Pada Delik yang Sudah Dicabut MK

 

Petani asal Tumbak, Robertus Hama dan Adrianus Rusli (Foto: Floresa/Ardy Abba)
Petani asal Tumbak, Robertus Hama dan Adrianus Rusli (Foto: Floresa/Ardy Abba)

Floresa.co – Pada Kamis (24/7/2014) Pengadilan Negeri (PN) Ruteng memvonis penjara 3 bulan terhadap 2 petani asal Tumbak, Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai Timur.

Vonis tersebut dinilai bermasalah karena majelis hakim mengacu pada delik yang sudah dicabut Mahkamah Konstitusi (MK).

Robertus Hama (52) dan Adrianus Rusli (38), nama dua petani tersebut didakwa dalam kasus dengan Dali Marpaeng, karyawan PT Aditya Bumi Pertambangan.

Hakim ketua PN Ruteng Richmond PB Sitoreos serta hakim anggota Yudha Himawan dan Arief Mahardika menyatakan, dua petani itu itu melanggar Pasal 335 ayat 1 UU No.1 Tahun 1946 tentang KUHP, yang memuat delik pidana “perbuatan tidak menyenangkan”

Padahal, delik terkait “perbuatan tidak menyenangkan” itu sudah dihapus oleh MK dalam Putusan No 1/PUU-XI/2013 yang dibacakan pada 16 Januari 2014 lalu.

Putusan itu yang kini dapat diakses leluasa di website MK, didasari pertimbangan bahwa penerapannya akan cenderung membuat penegak hukum bertindak terlalu subjektif dan bisa memicu kriminalisasi. (Baca Putusan MK, Klik di sini)

Karena itu, MK menyatakan, delik “sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan” dalam pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Kini, pasal tersebut berbunyi: “Barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain.”

Eva Sundari, Anggota DPR RI Komisi III yang membidangi urusan hukum dan HAM mengatakan, dengan dibatalkannya delik tersebut oleh MK, maka vonis terhadap dua petani Tumbak tidak sah.

“Seharusnya pasal tersebut memang sudah tidak dipakai lagi oleh penegak hukum manapun”, kata Eva.

“Kok hakim dan penyidiknya aneh,” lanjut dia.

Ia menegaskan, penyidik dan hakim telah salah mengadili perkara tersebut. Karena itu, kata dia, pengacara warga Tumbak harus segera membuat surat keberatan dan melaporkannya ke Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY), sekaligus melakukan banding untuk meminta pembatalaan vonis tersebut.

Eva menilai, kekeliruan hakim seperti ini seharusnya tidak terjadi. “Ini merupakan dampak dari tidak up to date-nya mereka”, tegas Eva.

Ketika ditanya, apakah nanti hakimnya bisa mendapat sanksi, kata dia, bisa saja, jika korbannya menuntut.

Kasus ini mengundang pertanyaan terkait profesionalitas penegak hukum di Manggarai.

“Bagaimana mungkin ini bisa terjadi. Peristiwa ini sangat memperihatinkan. Selalu, korbannya adalah rakyat kecil”, kata Rio Jempau dari Forum Pemuda Peduli Manggarai Timur (FP2Matim) Jakarta.

Ia menjelaskan, ada indikasi kuat, dengan pemberian vonis ini sebenarnya penegak hukum sudah berdiri di pihak perusahan.

“Ini bisa dilihat dari upaya mereka. Bahkan pasal yang sudah tidak dipakai lagi pun, masih diterapkan oleh PN Ruteng. Mestinya ada penyelidikan internal terhadap para hakim”, katanya.

“Kami mendukung agar kasus ini diproses hingga ke KY”, lanjut mahasiswa hukum Universitas Nasional Jakarta ini.

Upaya Represi Warga

Marianus Kisman, tim advokasi Komisi Justice, Peace and Integrity of Creation-Ordo Fratrum Minorum (JPIC-OFM) yang selama ini terlibat aktif mendampingi masyarakat Tumbak mengatakan, sejak awal ia memang menduga, proses hukum kasus ini akan merugikan warga.

“Dan, sekarang terbukti”, kata pria yang akrab disapa Bobek ini.

Pendapat majelis hakim yang menyatakan Robertus dan Adrianus terlibat tindak pidana, menurut dia, juga tidak memiliki kekuatan dan merupakan tuduhan mengada-ada.

Pasalnya, kata dia, Robertus yang merupakan Wakil Tua Adat Tumbak dan Adrianus melarang Dali Marpaeng – sebagai pelapor – pada akhir Maret lalu yang datang ke kampung Tumbak karena tanpa izin memfoto rumah gendang dan beberapa rumah warga.

Kala itu, kata dia, Dali mengaku, apa yang ia lakukan merupakan perintah perusahan dan sudah mendapat persetujuan dari tu’a teno (tua adat di kampung yang memiliki otoritas dalam masalah-masalah tanah).

Namun, jelas Bobek, ketika hal tersebut dikonfirmasi Robertus ke tu’a teno, mereka mendapat jawaban, tidak penah ada pemberitahuan dari Dali atau pihak lain dari PT Aditya.

Karena itulah, Robertus dan Adrianus mengancam Dali. “Mending kamu pergi dari tempat ini. Kalau tidak, kami cincang kau”, kata Bobek, mengutip Robertus.

Akibat ancaman itu, Dali pun melapor ke Polsek Dampek.

Pada 5 April, Robertus dan Adrianus menghadap untuk pertama kali dan disarankan oleh polisi untuk meminta maaf pada Dali. Namun Robertus menjawab, tidak ada alasan untuk memintaa maaf dan ia mengaku apa yang ia lakukan bukan sebuah kesalahan.

Karena menolak hal itu, mereka pun diminta wajib lapor pada setiap hari Senin dan Kamis.

Pada 5 Mei, tiba-tiba keduanya ditahan dan diteruskan ke Polres Ruteng. Tindak lanjut kasus mereka akhirnya sampai pada pembacaan vonis, Kamis lalu.

Proses hukum terhadap Rikardus dan Adrianus dilakukan di tengah konflik yang terus membara antara warga Tumbak dan PT Aditya.

Perusahan asal India ini mendapat Izin Usaha Pertambangan (IUP) dari Bupati Manggarai Timur, Yosep Tote pada 2009 lewat SK No. HK/81-2009.

Konflik terjadi karena dalam lampiran SK itu, lokasi tambang termasuk di Tumbak, tetapi jika berdasarkan peta lokasi yang ada, Tumbak tidak termasuk dalam wilayah IUP yang mencapai luas 2.222 hektar.

Karena perusahan ngotot, maka pada 31 Juli 2012 dibuatlah perjanjian. Kala itu, disepakati bahwa lingko (wilayah kebun) warga Tumbak tidak ditambang, tetapi PT Aditya akan membuat jalan yang melewati lingko warga untuk menghubungkan lokasi tambang di Waso dan Satar Teu, berhubung Tumbak terletak di antara dua lokasi tersebut.

Karena itulah, saat itu di bagian pinggir luar lingko warga Tumbak, dipakai oleh perusahan untuk pembuatan jalan dengan kompensasi untuk warga berupa pembangunan rumah adat, pembuatan jalan rabat beton dari jalan raya menuju kampung Tumbak sekitar 100 meter dan setiap kepala keluarga (KK) yang berjumlah 72 orang mendapat dana Rp 3 juta.

Sejak itu tidak ada persoalan.

Namun, pada akhir 2013, perusahan mulai mencari cara untuk menambang di lingko warga Tumbak.

Beberapa kali, karyawan perusahan dan alat berat secara diam-diam memasuki lingko. “Ada dua polisi yang selalu mendampingi pihak perusahan, yaitu Yonatan Nila dan Laurens Pitan. Juga ada TNI”, jelas Bobek.

Pada Senin (21/7/2014) lalu, alat berat perusahan kembali memasuki lingko warga Tumbak, namun berhasil dihadang. Para warga saat itu yang berada di lokasi untuk membersihkan lahan menyatakan berani mati bila perusahan tetap ngotot.

Tote Berkhianat

Kasus di Tumbak hanya salah satu dari konflik yang terjadi antara masyarakat dengan perusahan tambang, pasca Manggarai Timur pisah dari kabupten induk, Manggarai.

Sebelumnya, terjadi konflik serupa di Satar Teu, juga di Desa Golo Lijun, Elar dimana masyakat menolak kehadiran PT Manggarai Manganese.

Sejauh ini, belum ada langkah serius dari pihak pemerintah untuk menangani konflik yang terjadi.

Bupati Tote tidak pernah merspon ketika ditelepon, juga dihubungi via pesan singkat.

Padahal, ketika dirinya baru setahun menduduki kursi empuk di ruang jabatan, ia dengan lantang menegaskan, dirinya tidak akan menerima kehadiran tambang, sebuah komitmen yang menuai decak kagum dan optimisme publik akan hadirnya pola pemerintahan yang mau mendengarkan suara rakyat kecil.

Ia dianggap menghadirkan sikap berbeda dari Bupati Manggarai Christian Rotok, yang dikenal suka mengobral izin tambang.

Janji tolak tambang disampaikan Tote saat pertemuan dengan warga Manggarai Raya di Hotel Ibis, Jakarta Barat, Jumat 10 Desember 2010. Sebagaimana dilansir Flores Pos, Selasa 14 Desember 2010, Tote menegaskan, “Secara pribadi saya tadinya melihat pertambangan berpotensi meningkatkan kesejahteraan penduduk, tetapi setelah ada penolakan dari masyarakat, apalagi air sungai jadi hitam dan beberapa dampak buruk terhadap lingkungan sekitarnya, maka saya tolak tambang. Jadi, saya tidak akan pernah mengeluarkan izin tambang.”

Pernyataannya kala itu disambut tepuk tangan meriah peserta diskusi.

Ia juga menambahkan sejumlah catatan, antara lain, akan meninjau kembali seluruh proses izin tambang dan tidak akan mengeluarkan izin baru, membentuk tim khusus mengkaji seluruh proses izin tambang dan memberdayakan masyarakat melalui pertanian organik, perikanan serta pariwisata.

Namun, apa lacur, faktanya kini, semua janji itu tak lagi diingat.

Pastor Peter C Aman OFM, Direktur JPIC-OFM mengatakan, melihat sikap bupati demikian, maka pembelaan terhadap kedaulatan masyarakat atas hak-hak hidup dan tanah tidak bisa lagi disandarkan pada kebijakan dan kehendak baik Pemda.

“Pemda telah menjadi bagian dari oligarki yang merampas hak-hak masyarakat atas tanah dan sumber ekonomi,” katanya.

Yosep Tote mengkhianati janjinya sendiri terhadap masyarakat 2 tahun lalu. Ia telah berbohong”, lanjut imam fransiskan asal Manggarai Timur ini.

Ia menjelaskan, pihaknya juga melihat aparat penegak hukum berpihak pada korporasi dan mengkriminalisasi masyarakat yang berjuang untuk hak hidupnya. “Penegak hukum pun menjadi agen dan kaki tangan korporasi”, tegasnya.

Menurut dia, situasi ini sangatlah menyedihkan. “Indonesia yang sudah merdeka ini, kembali mengalami penjajahan oleh bangsa sendiri. Soekarno sudah mengingatkan hal itu dan penguasa kita tuli terhadap seruan nurani dan moral tersebut,” ungkap Pastor Peter.

Ia meminta masyarakat tidak terpancing untuk melakukan tindakan kekerasan.

“Utamakan kesatuan dan kerja sama karena musuh mereka bersama adalah korporasi yang merampas tanah mereka”, katanya.

“Jangan memusuhi yang terima tambang karena mereka itu tertipu oleh janji korporasi. Mereka harus ditolong untuk sadar,” katanya.

Informasi yang dihimpun Floresa, saat ini warga Tumbak memang terbelah menjadi kubu pro dan kontra tambang. PT Aditya terus berupaya mendekati warga untuk menerima kehadiran mereka.

Hingga kini, sudah terdapat 20 KK yang pro dan mendapat kompensasi 25 juta rupiah, sementara 52 KK lainnya tetap teguh menolak tambang.

“Situasi ini membuat konflik sosial di Tumbak ibarat bom waktu. Ada perasaan benci antarwarga”, kata Irvan Kurniawan, Ketua Himpunan Mahasiswa Pelajar Manggarai Timur (HIPMMATIM) yang pada 21-23 Juli lalu hadir di Tumbak mendampingi warga.

“Sekarang kita butuh kepedulian semua pihak, terutama dari Manggarai Timur untuk menekan pemerintah agar peduli pada Tumbak.”

Sebagian besar dari artikel ini sudah dimuat di Harian Flores Pos edisi Sabtu, 26 Juli 2014.

Ikuti terus info kasus tambang Tumbak dalam topik: Prahara Tambang Tumbak

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini