Walhi NTT: Lewat “Green Mining”, Australia Ingin Keruk NTT

Melky Nahar, Manager Kampanye Tambang dan Energi Walhi NTT
Melky Nahar, Manager Kampanye Tambang dan Energi Walhi NTT

Floresa.co – Agenda “green mining” atau tambang hijau yang sedang digagas oleh pemerintah dan kampus asal Australia bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (Pemprov NTT) mendapat kritikan dari organisasi lingkungan hidup.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia cabang NTT (Walhi NTT) mengatakan, ada kepentingan terselubung Australia di balik agenda tersebut.

“Green mining” dibicarakan dalam sebuah lokakarya bertajuk ‘Sinergi Implementasi Pengelolaan Penambangan Hijau Dalam Wilayah Nusa Tenggara Timur’ di Kupang, Selasa, 15 Juli 2014 lalu.

Lokakarya ini diselenggarakan oleh Pemerintah Australia, Charles Darwin University dan Australian National University bekerja sama dengan Badan Lingkungan Hidup Daerah NTT.

“Green mining” merupakan pola pertambangan yang dianggap ramah lingkungan karena menggunakan sistem tertutup, bukan tambang terbuka yang mengoyak lapisan permukaan tanah dan kemudian membiarkannya begitu saja. Dalam pola pertambangan jenis ini, ekploitasi akan tetap jalan, sementara kondisi tanah di permukaan yang tidak menjadi komoditi akan tetap terjaga.

Namun, Walhi NTT mengatakan, “green mining” hanya merupakan istilah halus untuk meloloskan niat Australia mengeruk kekayaan alam NTT, khususnya di Timor Barat, sementara dampak buruknya akan tetap masif baik bagi lingkungan, maupun bagi masyarakat.

“Ada apa sebenarnya sehingga menginisiasi proses “green mining” di NTT? Kami menduga, Australia mempunyai kepentingan besar untuk NTT”, kata Melky Nahar, Manager Kampanye Tambang dan Energi Walhi NTT dalam keterangan pers yang diterima Floresa, Kamis (17/7/2014).

Menurut Melky, dugaan ini tidak berlebihan, mengingat perusahan tambang asal Australia, PT Asia Mangan Grup telah meletakan batu pertama pembangunan smelter atau fasilitas pengolahan dan pemurnian mangan di Desa Silawan, Kecamatan Tasifeto Timur, Kabupaten Belu, NTT pada Desember 2013 lalu.

“Sehingga, semua hasil produksi tambang mangan di NTT nantinya akan dikuasai Australia”, jelasnya.

Pihaknya juga mempertanyakan sikap pemerintah pusat dan Pemprov NTT yang tidak konsisten dalam menjalankan kebijakannya, dimana dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), NTT bersama Bali dan Maluku masuk dalam koridor pertanian, peternakan, kelautan dan pariwisata.

“Anehnya, pemerintah cenderung memprioritaskan pembangunan dengan memberi izin bagi tambang.”

Padahal, kata dia, puluhan tahun perusahaan tambang beroperasi di NTT, tidak ada cerita kehidupan masyarakat di lingkar tambang menjadi sejahtera.

“Argumentasi peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) pun hanya utopia belaka. Yang untung hanya investor dan para makelar di bidang tambang”, kata Melky.

“Bagi kami, dengan menyetujui ‘green mining’ yang dicanangkan Ausralia, bagi kami, Pemerintah Provinsi NTT sesungguhnya sedang mendatangkan penjajah baru untuk masyarakat NTT.”

spot_img

Artikel Terkini