Tambang, Upeti Dalam Politik Lokal

Alfred Tuname
Alfred Tuname

Oleh: Alfred Tuname, kolumnis Floresa, pemerhati isu sosial dan politik

Lebih dari 5 tahun lalu, Jusuf Merukh, salah satu pemilik perusahan tambang asal Rote, melontarkan pernyataan sinis, merespon penolakan tambang oleh para pastor di NTT.

“Tolong diingat, kemiskinan itu tidak bisa dilawan dengan menggunakan filsafat”, ujar Merukh (Bisnis Indonesia, 15/12/2010).

Kisah senada terjadi pada Pastor Paroki Nualain, Kabupaten Belu, Romo Inosensius Nahak Pr yang mendapat teror karena melawan agresi tambang mangan PT Nusa Lontar Resources.

“Saya dibilang sok pahlawan dan yang selama ini beri makan masyarakat adalah pengusaha bukan saya”, cerita romo Ino (Floresa.co, 14/5/2014).

Dua kisah nyata di atas menyiratkan, ada nalar yang persis sama antara penguasa politik dan konglomerat tambang, bahwa tambang memberikan kesejahteraan kepada masyarakat. Falsafah “primum manducare, deinde philosophari” (makan dulu, baru berfilsafat) ditafsir secara bulat-bulat dan dijadikan senjata pemungkas alibi kongsi politik-bisnis tambang di hadapan kritisisme (tokoh) masyarakat.

Alam pikir seperti penguasa Belu dan Jusuf Merukh, the godfather dinasti bisnis Merukh (tambang, agribisnis, penerbangan dan properti), juga mencerminkan nalar pikir para penguasa dan konglomerat tambang di segenap bumi NTT. Tambang dan politik lokal sudah menjadi kongsi yang erat bagai pinang dibelah dua. Keduanya sama-sama memiliki wajah yang buruk dalam proses pembangunan masyarakat NTT.

Relasi simbiosis mutualisme antara politisi lokal dan tambang sering hanya ditahtakan pada altar nafsu kekuasaan dan kekayaan. Celakanya, dalam praktik politik riil, wajah kekuasaan dan kekayaan melebur menjadi satu. Kekuasaan berarti kekayaan. Kekayaan berarti kekuasaan. Upaya pemisahan keduanya sama artinya dengan membidani sebuah chaos sosial dan politik. Bukan atas klaim demokrasi, tetapi klaim kekuasaan politik-ekonomi.

Di tanah Papua, usaha pemisahan kekuasaan dan kekayaan dituduh sebagai gerakan separatisme (demi pelanggengan kongsi penguasa lokal dengan perusahaan tambang Freeport McMoran, BHP Billiton, Ingold, etc.). Di tanah Flobamora, usaha pemisahan itu pasti berakibat pada bentrok/konflik horisontal antara massa pro versus anti-tambang.

Sikap pro tambang di tanah Flobamora bukanlah sikap yang alamiah, tetapi by design. Sebab, rakyat Flobamora adalah masyarkat agraris. Masyrakat agraris ini membentuk budayanya yang luhur dengan sikap penghargaan yang tinggi atas tanah dan ladangnya. Atas budaya inilah mereka hidup.

Jadi, sikap pro tambang adalah sikap politik “pra-bayar”. Artinya, ada “royalti”  yang akan diberikan penguasa kalau masyarakat pro terhadap tambang. Dengan begitu, tambang berhasil “membebaskan” rakyat dari tanah pertanian dan mengumpulkan mereka dalam satu gheto kemelaratan jangka panjang.

Atas dasar itu, kongsi politik dan tambang seringkali tidak lagi menjadikan proyek pembangunan daerah sebagai sebuah kewajiban politik pemerintah.

Proyek pembangunan hanya menjadi “royalti” atau mahar yang diberikan kepada masyarakat yang pro tambang. Untuk menjalankan niatnya, penguasa menggunakan hirarki birokrasi demi mengelabui atau mendesak masyarakat menyetujui praktik eksplorasi dan eksploitasi tambang. Warga desa atau masyarakat adat seringkali nyaris tidak berdaya di hadapan sistem statisme ini. Boleh jadi, elit desa juga mendapat “royalti” besar dari tambang itu.

Dengan pembodohan dan janji quasi-kesejahteraan terhadap masyarakat, penguasa dan para elit politik mendapat upeti yang besar dari perusahaan tambang. Tambang menjadi upeti politik yang magis untuk melanggengkan kekuasaan politik.

Surat Izin Usaha Pertambangan (IUP) menjadi  “kwitansi” bawah tangan untuk menekan perusahaan tambang. Kata “deal” merupakan bahasa kongsi berikut konsekuensinya. Perusahaan tambangan akan bersedia memberikan dana segar untuk ongkos politik penguasa dan elit politik.

Sementara penguasa dan elit politik menggunakan kekuasaan dan hirarki politiknya untuk mempermudah persoalan sulit dalam tambang. Jadi, kongsi politik dan tambang adalah usaha “potong kompas” pelanggengan kekuasaan dan penimbunan kekayaan.

Maka tidak heran, menjelang Pilkada elit politik tiba-tiba “blusukan” ke daerah-daerah yang menjadi areal potensi tambang. “Uang kaget” dan janji pembangunan begitu murah ditebarkan demi menjaring dukungan, untuk tambang dan suara.

Hal itu tidak berbeda jauh dengan propaganda usaha pemekaran kabupaten atau propinsi. Selalu ada skema “do ut des”. Bahwa sudah menjadi rahasia umum, pemekaran kabupaten atau propinsi hanyalah bahasa lain dari pemetaan dan kapling areal tambang yang dilakukan atas kesepakatan elit politik dan konglomerat tambang.

Dengan kata lain, orang seperti penguasa Belu dan Jusuf Merukh ingin mengatakan “tambang dulu, baru berpolitik” kepada lingkar kongsi politik-tambang. Lalu, rakyat yang berada di radius lingkar itu terbungkus dalam teriakan nestapa ketidakadilan, kesengsaraan dan kemiskinan.

Kondisi ekologi, sosial, budaya, ekonomi dan politik kian terdegradasi. Atas ini semua, masyarakat hanya menjadi saksi ketidakberdayaannya di hadapan kedigdayaan elit politik dan pelaku tambang. Rakyat hanya menatap kangum pada dinasti kekuasaan elit politik yang properti kekayaanya tersebar di berbagai tempat (Kupang, Bali, Surabaya, Jakarta dan seterusnya), sembari meratapi tanah leluhur dan ladangnya hancur oleh eksploitasi tambang.

Di sini, tambang menjadi kutukan bagi rakyat. Sementara itu, penguasanya menjadi pesolek politik di tengah kesengsaraan rakyat. Kekuasaan tidak lagi dirayakan sebagai sarana untuk mengubah kehidupan rakyat menjadi sejahtera dan adil.

Penguasa dan elit politik tidak lagi pemimpin yang arif dan bijaksana, selain menjadi kawanan perampok bagi rakyatnya sendiri. Di sini, formula demokrasi diubah menjadi kekuasaan “dari rakyat, oleh penguasa untuk konglomerat tambang dan penguasa an sich”.

Seharusnya, demokrasi itu bersumbu pada keadilan bagi segenap rakyat, bukan hanya segelintir orang. Mengutip Bertolt Brecht, “the bread of justice must be baked by the people”.

 

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini