Prabowo dan Hak Asasi Manusia

Oleh Gerry Van Klinklen

Situasi Jakarta 1998 memang buruk, tetapi tangan Prabowo sepertinya lebih berdarah di Timor Leste

Seperti semua orang tahu, satu dari kandidat kuat Presiden memiliki persoalan berkaitan dengan hari-harinya dalam dunia militer. Tetapi menculik sejumlah aktivis mahasiswa pada 1998 bukanlah persoalan terburuk HAM Prabowo, meskipun ia paling dikenal dalam peristiwa ini. Lima belas tahun sebelumnya, ia berada di tengah operasi kontra perlawanan di Timor Leste, yang mengorbankan ratusan nyawa. Dimulai pada 16 September 1983 dimana terjadi pembunuhan besar-besaran terhadap puluhan orang, termasuk perempuan dan anak-anak.  Mereka telah menyerah kepada tentara Indonesia setelah turun dari Gunung Bibileo dekat Viqueque. Seorang korban menyampaikan pada Komisi Kebenaran Timor Leste CAVR:

“Tiga orang Hansip berjalan di depan dan anggota tentara mengelilingi kelompok orang sehingga tidak satu orang pun bisa melarikan diri…Kami mulai berjalan sekitar pukul 3 sore dan tiba di satu tempat di gunung sekitar pukul 4 sore…Kami duduk dan tentara mengelilingi kami supaya tidak ada yang lari…Kemudian datang tentara Indonesia lagi…Setelah mereka tiba kami diperintahkan berdiri. Saya bersama semua orang yang lain berdiri menghadap lembah. Kemudian kami disuruh berjalan. Saya baru berjalan satu langkah, tentara Indonesia melepaskan tembakan ke arah kami. Saya bersama saudara saya jatuh ke tanah. Orang-orang yang terkena tembakan jatuh di atas badan saya. Tentara Indonesia menembak semua orang dari belakang. Kemudian tembakan berhenti dan tentara beristirahat dan merokok. Satu orang tentara Indonesia menyuruh M303 [seorang komandan Hansip] berbicara dengan bahasa Tetun untuk menyuruh yang masih hidup…berdiri…Tidak ada yang menjawab perintah ini. Kemudian tentara menembak lagi mayat-mayat yang tergeletak di sana. Kemudian saya mendengar dua anak kecil. Ketika tentara menembak, mereka tidak kena. Kemudian M303…mendekat dua bayi itu dan mengambil sebilah pisau menikamkannya sampai mereka mati. Kemudian [tentara] Indonesia dan Hansip beristirahat
dan merokok lagi.”

Chega!, laporan CAVR (Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi Timor Leste) menyebutkan nama 55 orang yang dibunuh pada hari itu. Pada hari berikutnya, pembunuhan besar-besaran lainnya terjadi di dekat lokasi tersebut, juga saat orang Timor Leste menyerahkan diri di Gunung Bibileo. Chega! mencatat 141 orang terbunuh pada peristiwa ini. Secara keseluruhan, Chega! mencatat 530 nama orang yang dibunuh atau hilang selama operasi kontra perlawanan yang berlangsung hingga tahun 1984 di seluruh Timor Leste. Sejumlah besar orang yang selamat dari Gunung Bibileo juga meninggal dunia akibat kelaparan di kamp konsentrasi yang dijaga ketat aparat militer.

Semua jurnalis mengetahui tentang penculikan di tahun 1998 yang mengakhiri karir militer Prabowo. Sedikit tampaknya yang mengetahui operasi di Timor Leste pada awal karirnya tahun 1983. Ketika jurnalis Jakarta Post, Aboeprijadi Santoso, mengingatkan pada Desember lalu, Prabowo mengirimkan surat pembaca yang menyatakan bahwa hal tersebut merupakan “tuduhan yang tidak terbukti.” Lalu apa saja yang dapat kita ketahui dengan jelas tentang keterlibatannya pada peristiwa-peristiwa tersebut, dan apa yang perlu lebih dipastikannya?

Lompatan karir

Pada tahun 1983 Prabowo Subianto, berusia 32 tahun, adalah seorang kapten di Pasukan Khusus, Kopassandha. Pasukan yang kemudian berganti nama menjadi Kopassus adalah pasukan yang paling dipercaya, paling memiliki kemampuan dan menjadi tangan besi Orde Baru. Adalah sebuah keajaiban jika kita mengetahui kegiatannya – pasukan elit ini sebagian besar bekerja secara rahasia.

Karir Prabowo berada di ambang lompatan. Ia cerdas dan berasal dari keluarga elit. Tapi di bagian bawah dari militer Indonesia pada awal 1980-an itu saja tidaklah cukup. Untuk menuju kemajuan diperlukan koneksi dan kekerasan. Semuanya datang bersama-sama untuk Prabowo pada tahun 1983.

Kecerdasannya membuat ia mendapatkan undangan berkali-kali untuk menjalani pelatihan di luar negeri – Fort Bragg di Amerika pada tahun 1980, dengan GSG-9 di Jerman barangkali pada tahun 1981, dan kemudian ke Fort Benning pada tahun 1985. Setiap kali ia mencapai “lulusan terbaik.” Pada tahun 1982, bersama dengan Mayor Luhut Pandjaitan, ia diundang untuk membentuk sebuah unit anti-teror baru yang disebut Detasemen 81 dalam Kopassandha, untuk menguji keahliannya. Dia memimpin langsung kelompok di dalamnya, yang disebut Chandraca 8. Kemungkinan besar ia membawa satuan ini ke Timor Leste pada bulan Maret atau April 1983. Indonesia menginvasi Timor Leste pada tahun 1975, dan ini adalah rangkaian tugas keduanya di sana. (Yang pertama adalah sebagai letnan pada tahun 1977-78. Ia terlibat dalam pembunuhan pahlawan perlawanan Timor Leste, Nicolau Lobato, yang kepalanya dilaporkan dikirim ke Jakarta sebagai sebuah trofi kemenangan, sehingga Presiden Suharto bisa memverifikasi sendiri kematiannya).

Koneksi? Prabowo menikahi putri presiden, Siti Hediati Harijadi (Titiek), pada bulan Mei 1983. Mereka bercerai pada tahun 2001. Tetapi selama masa Orde Baru, istrinya membuka akses kepada presiden yang membuat iri sesama rekan militernya. Dia mampu berperilaku melampaui pangkat dan jabatannya.

Dan kemudian kekerasan. Pada bulan April di tahun yang sama 1983, tentara gerilya Timor Leste, Falintil telah menandatangani gencatan senjata dengan angkatan bersenjata Indonesia. Untuk komando tinggi Indonesia, hal itu adalah permulaan awal untuk kemenangan yang lengkap. Tetapi untuk pejuang Timor Leste, hal tersebut adalah kesempatan untuk berkonsolidasi. Prabowo setuju dengan pandangan beberapa pejabat yang menentang gencatan senjata karena alasan itu. Selama bulan-bulan berikutnya, dia akan muncul di Timor Leste tanpa melaporkan kepada komandan yang bertanggung jawab untuk gencatan senjata, yang membuat perwira tersebut tidak nyaman. Apa yang ada dalam pikirannya?

Kebangkitan

Pada tanggal 8 Agustus 1983, komandan Falintil Xanana Gusmao mulai bergerak. Aparat militer Indonesia sebelumnya telah menangkap sejumlah gerilyawan Falintil dan mengharuskan mereka untuk bekerja sebagai pembantu mereka. Xanana kemudian meminta pemimpin perlawanan di timur pulau, Ular Rihik (Virgilio dos Anjos), untuk membujuk seluruh detasemen pembantu sejenis di dusun Kraras untuk membunuh atasan mereka yang tentara Indonesia, dan bergabung kembali dengan Falintil di perbukitan. Kraras terletak di sebuah dataran di barat kota Viqueque, dan selatan Gunung Bibileo. Orang-orang tersebut membunuh 14 tentara zeni Indonesia. Serangan tersebut secara definitif mengakhiri gencatan senjata – meskipun waktu tiga bulan yang disepakati telah habis pada bulan Juli dan Panglima TNI Jenderal Benny Moerdani kemudian mulai menuntut penyerahan Falintil. Pemberontakan yang dimulai pada tanggal 8 Agustus 1983 dikenal di Timor Leste sebagai levantamento, atau bangkit, karena menandai kebangkitan gerakan perlawanan yang hampir dipukuli.

Mengetahui pembalasan akan mengikuti, warga sipil dan kombatan kemudian melarikan diri ke hutan yang meliputi Gunung Bibileo. Tindakan represi tentu saja mengikuti, dan tampaknya Prabowo memainkan peran sentral di dalamnya. Hanya sejauhmana peran sentral tesebut adalah kebutuhan medesak untuk diketahui.

Panglima TNI Benny Moerdani sangat marah ketika mengetahui serangan-serangan tersebut dan segera memerintahkan operasi kontra-perlawanan, yang berlangsung selama beberapa bulan. Operasi ini mengakibatkan ratusan orang meninggal dunia, beberapa orang diantaranya adalah kombatan. Peningkatan pertempuran menyebabkan korban militer Indonesia yang meningkat dari 163 orang di tahun sebelumnya dilaporkan 269 orang pada tahun 1984 (masih jauh lebih rendah dari 600-700 kematian per tahun yang diderita Indonesia sesaat setelah invasi). Falintil juga menderita dalam peristiwa ini – pada Februari 1985, laporan internal menyebutkan 78 orang tewas dan terluka sejak Agustus 1983. Namun dari seluruhnya 530 tindakan pembunuhan dan penghilangan yang dilaporkan dalam Chega! untuk periode ini, tidak satu korbanpun berupa seorang kombatan. Mereka adalah warga sipil atau kombatan yang tidak lagi mengambil bagian dalam pertempuran. Hukum internasional menganggap pembunuhan seperti ini melanggar hukum.

Kopassus

Siapa yang bertanggung jawab atas pembunuhan di luar proses hukum dan penghilangan paksa? Dari semua pelaku pelanggaran di Timor Leste selama periode 1974-1999 dilaporkan dalam Chega!, Kopassandha/Kopassus adalah satu unit yang terkait dengan jumlah tertinggi dari pelanggaran-pelanggaran tersebut. Dan jumlah tertinggi pelanggaran terkait dengan peran Kopassandha yang terjadi selama 1983-1984 dalam penindasan levantamentotersebut. (Kopassus secara tidak langsung bahkan menyebabkan penderitaan yang lebih. Sepanjang perang tersebut, Kopasus memainkan peran sentral dalam pembentukan milisi yang melakukan begitu banyak pekerjaan keji militer Indonesia untuk mereka, termasuk pada tahun 1999. Pembentukan milisi adalah bagian besar dari pekerjaan Prabowo dengan Kopassus. Prabowo pernah mengatakan kepada wartawan asing “Aku punya filosofi ini: tentara rakyat. Kita harus memegang orang-orang di pihak kita.”) .
Apa keterlibatan Prabowo dalam kejahatan tahun 1983? Jurnal Universitas Cornell Indonesia (Oktober 2003) mengutip laporan bahwa

Prabowo tiba di Timor Leste dalam rangkaian ketiga tugasnya pada tanggal 28 Agustus 1983, bersama-sama dengan Unit Chandraca 8 dari Kopassandha yang dipimpinnya. Jill Jolliffe, dalam bukunya Cover-up: the inside story of the Balibo Five (2001), mengutip seorang saksi mata yang melihat Prabowo menjelajahi Gunung Bibileo dengan pasukannya pada awal September, sebelum pembantaian besar pertama. Levantamento terjadi kurang dari satu bulan sebelumnya. Dia tetap di wilayah timur di sekitar Gunung Bibileo sampai awal tahun 1984.
Sub distrik Ossu terletak kurang dari 20 km sebelah utara dari Viqueque, di jalan yang melintasi Timor Leste. Kapten Prabowo memiliki basis di sini selama operasi kontra-perlawanan. João Caetano, orang Timor Leste yang kemudian bekerja untuk intelijen Indonesia, mengatakan pada Jolliffe bahwa Prabowo mengarahkan operasi kontra-perlawanan di daerah di mana pemberontakan pertama kali terjadi dari tempat ini. Biarawati Katolik mengatakan mereka harus mengevakuasi sekolah anak perempuan mereka di Ossu agar Prabowo dan anak buah dapat menempatinya. Tak satu pun dari pasukan tersebut mengenakan lencana.

Begitu operasi Indonesia mulai berjalan, laporan kematian dan penyiksaan secara cepat berlipat-lipat. Chega!mencatat insiden-insiden berikut:

  • Pembalasan pertama oleh unit-unit militer Indonesia terjadi pada tanggal 7 September, dengan membakar semua rumah di dusun Kraras, yang menyebabkan kematian terhadap 4-5 penduduk sipil yang masih tertinggal.
  • Banyak warga sipil yang ditangkap dan disiksa di sebuah kamp Batalyon 745 di dekat Olobai di hari-hari berikutnya.
  • Chega! mencatat 55 orang korban, termasuk perempuan dan anak-anak, yang dieksekusi setelah menyerah kepada pasukan bersenjata Indonesia dari Gunung Bibileo (kejadian di atas). Eksekusi berlangsung di Welamo dekat desa Caraubalau pada tanggal 16 September.
  • Kekejaman tunggal terbesar terjadi pada tanggal 17 September. Sekelompok besar orang, semua laki-laki dari Kraras yang melarikan diri ke desa Buikarin, dieksekusi oleh senjata-mesin di dasar sungai di Tahubein. Chega!mencatat 141 orang korban, meskipun laporan lain menyebutkan bahwa jumlah tewas di Tahubein mencapai 181 orang. Sekali lagi, tidak ada informasi apakah ini adalah warga sipil atau kombatan non-aktif. Chega! menulis:
    “Pada 17 September 1983, militer Indonesia mendekati sekelompok pengungsi dari Kraras yang telah melarikan diri ke dekat desa Buikarin. Desa Buikarin dikepung dan orang-orang yang berasal dari Kraras ditangkap. Yang laki-laki dipisahkan dari perempuan dan disuruh pergi ke Kraras di bawah pengawasan militer untuk mengangkut makanan. Menurut satu laporan, 6-8 orang tentara Indonesia dan dua orang Hansip Timor-Leste menjaga banyak laki-laki menuju Sungai Wetuku di satu tempat yang dikenal sebagai Tahubein, dimana mereka dikepung dan ditembaki. Hanya satu orang yang dilaporkan selamat dari pembantaian ini.”
  • Chega! memiliki banyak deskripsi lain dari eksekusi individu, kadang-kadang di depan umum, dan banyak peristiwa penghilangan dan deportasi, sepanjang September dan Oktober 1983 hinga awal 1984. Laporan datang dari setiap kabupaten di Timor Leste, tetapi terutama dari wilayah timur  dimana Prabowo berlokasi, seperti diketahui oleh beberapa saksi mata.

Mereka yang selamat dari kengerian ini kemudian menghadapi lebih banyak penderitaan di bulan-bulan berikutnya. Setiap orang yang pernah tinggal atau bersembunyi di Gunung Bibileo dipindahkan ke kamp konsentrasi di Lalerek Mutin, dekat Kraras yang kemudian ditinggalkan di dataran barat dari Viqueque. Sebanyak 1.300 jiwa, sebagian besar perempuan, anak-anak dan orang tua, terus dikawal ketat oleh penjaga Chandraca sehingga mereka tidak dapat mengelola kebun penghidupan mereka. Kelaparan hebat menimpa mereka. Salah satu saksi mata mengatakan kepada CAVR: “Aku ingat empat atau lima orang meninggal setiap hari. Kami hanya membungkus mereka dengan tikar dan menguburkan mereka.” José Gomes, kepala desa Lalerek Mutin pada saat itu, memperkirakan bahwa lebih dari 1.000 orang meninggal antara peristiwa-peristiwa di Kraras dan berdasarkan sensus yang dilakukan pada tahun 1984. Hidup hanya sedikit membaik setelah Unit Chandraca 7 (bukan yang dipimpin oleh Prabowo)kembali ke Jawa pada bulan Desember 1985.

Penelitian

Laporan CAVR tentang pembunuhan  pada tahun 1983-1984 terdiri dari 27 halaman. Bagian lain menggambarkan kematian akibat kelaparan, pemindahan paksa, penyiksaan (termasuk pelecehan seksual), dan penahanan sewenang-wenang yang timbul dari operasi. Pembunuhan di luar hukum saja sebanding dalam skala peristiwa pembantaian di Santa Cruz pada November 1991, yang mengejutkan opini dunia. Rantai pembunuhan sepihak yang ditandai operasi kontra-perlawanan setelah levantamento itu dimulai oleh dua pembantaian mengerikan dari 16 dan 17 September 1983. Inilah kejadian-kejadian tersebut, dan bukan (seperti yang dianggap Prabowo) pembunuhan awal di Kraras pada 8 Agustus, yang dikenal dengan ‘Pembantaian Kraras’ yang terpatri dalam memori mereka yang mengetahui cerita ini.

Laporan CAVR dengan hati-hati tidak menyebutkan sebagian besar perwira Indonesia yang terlibat. Tapi nama mereka dapat dibaca dalam, antara lain, kesaksian mata dalam buku Jill Jolliffe dan dalam sebuah wawancara panjang dengan gubernur Indonesia Timor Leste saat itu, Mario Carrascalao, yang diterbitkan di Cornell Indonesia (di atas). Bahwa Prabowo memainkan peran penting dalam operasi ini tampak jelas, tetapi seberapa persis perannya kurang jelas. Pangkatnya dan pangkalannya di Ossu menyiratkan ia memegang pos komando lapangan di bagian timur negara itu, di mana levantamento telah dimulai.

Menurut João Caetano, pembantaian di Tahubein pada tanggal 17 September dilakukan oleh anggota Kodim 1630/Viqueque, Yonif 328, 501 dan 745  dan Kopassandha. Gabungan unit militer adalah khas operasi Indonesia di Timor Leste selama perang. Kodim 1630/Viqueque adalah pasukan lokal ‘ teritorial ‘ (dengan hansip terkait); Batalyon 745 adalah sebuah unit tempur yang berbasis di Timor Leste; Batalyon 328 dan 501 adalah ‘baret hijau’ unit infanteri Kostrad yang menghabiskan banyak waktu di Timor Leste. Para perwira Kopassandha yang memegang pimpinan, sesuai praktek normal. Dua petugas Kopassandha lain yang disebutkan dalam kaitannya dengan operasi di wilayah timur adalah Mayor Slamet Supriyadi (Chandraca 6) dan Kapten Harry Pisand Pinem (terkadang salah terdaftar sebagai Heri Pisang, Chandraca 7). Caetano mengatakan ia melihat Pisand dan pasukannya meninggalkan Viqueque pada pagi hari pembantaian Tahubein. Fakta bahwa Prabowo belum teridentifikasi oleh saksi mata yang hidup sebagai pihak yang telah berpartisipasi langsung dalam pembunuhan tidak berarti ia tidak berkoordinasi dari dekat.

Apapun tepatnya yang ia lakukan, jelas bahwa atasan-atasan Prabowo melihat kerjanya dan menyetujuinya. Akhir tahun 1983, masih di Timor Leste, ia dipromosikan dari kapten ke mayor – peringkat tinggi untuk seseorang yang berusia 32 tahun.

Levantamento memicu eskalasi serius perang gerilya, yang oleh angkatan bersenjata Indonesia telah dianggap ia menang sejak massa Fretilin menyerah dari akhir tahun 1979. Tanggapan Indonesia kejam dan mengorbankan ratusan nyawa warga sipil. Laporan CAVR yang menggambarkan kekejaman secara rinci dan mengerikan ini belum pernah disebutkan dalam publikasi umum Indonesia, apalagi ditindak oleh petugas peradilan Indonesia. Kebisuan ini telah memungkinkan Prabowo untuk mengklaim “tuduhan tidak terbukti”. Pembaca Indonesia sekarang dapat memeriksa bagi mereka  sendiri – terjemahan bahasa Indonesia dari laporan tersebut saat ini tersedia secara online dan dijual di toko-toko buku besar di Indonesia.

Ketika dihadapkan pada cerita Kraras pada tahun 1998, Panglima ABRI Jenderal Wiranto mengatakan dengan santai: “Untuk membunuh atau dibunuh tidak dapat dihindari dalam situasi perang seperti ini.” Akan ada beberapa yang setuju dengan Wiranto. Tetapi presiden dari sebuah bangsa yang besar seperti Indonesia harus melindungi kehidupan manusia di atas segalanya. Masyarakat Indonesia harus berharap bahwa ketidakpedulian militer untuk kehidupan kemanusiaan tidak akan dibawa ke istana presiden setelah 9 Juli.

Gerry van Klinken ([email protected]) adalah profesor sejarah Asia Tenggara di University of Amsterdam.Chega! diterbitkan pada tahun 2005 dan tersedia secara online dalam berbagai bahasa di http://www.cavr-timorleste.org/en/chegaReport.htm. Edisi bahasa Inggris baru akan diterbitkan dalam bentuk buku pada tahun 2014 nanti.

Artikel ini adalah terjemahan dari “Prabowo and Human Rights” yang dipublikasi oleh Inside Indonesia 116. Link http://www.insideindonesia.org/current-edition/prabowo-and-human-rights. Versi Bahasa Indonesia diterjemahkan oleh KontraS

spot_img

Artikel Terkini